JURNALMALUKU-Kasus dugaan intimidasi terhadap wartawan kembali terjadi di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD). Kali ini menimpa Pemimpin Redaksi (Pemred) media online Jurnal Maluku, setelah ia mempublikasikan pemberitaan investigatif mengenai proyek pembangunan talud di Desa Tepa yang rusak setelah selesai dikerjakan, meski telah menghabiskan dana sebesar Rp.2,8 miliar pada tahun anggaran 2020. Proyek tersebut diketahui dikerjakan oleh CV. Putra Laitutun. Ironisnya, perusahaan yang sama kembali memenangkan tender proyek talud di Desa Kaiwatu pada tahun anggaran 2025.

Peristiwa intimidasi ini terjadi pada siang hari sekitar pukul 12:30 WIT, ketika seorang pria berinisial H.S., yang dikenal sebagai preman lokal, mendatangi Cafe Builder tempat biasa sang Pemred berkumpul bersama rekan-rekannya. Saat itu, sang Pemred tidak berada di lokasi. H.S. lalu menanyakan keberadaan dan alamat tempat tinggal Pemred kepada beberapa rekan yang sedang berada di kafe tersebut.

Belakangan diketahui dari voice note yang diterima salah satu rekan Pemred, bahwa H.S. datang dengan maksud untuk mengintimidasi bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap Pemred Jurnal Maluku. Dalam voice note itu, rekan H.S. secara eksplisit menyebutkan bahwa H.S. ingin menghantam sang Pemred karena diduga soal pemberitaan proyek talud.
H.S. diduga kuat dikirim oleh orang yang merasa kebakaran jenggot akibat pemberitaan proyek gagal talud Tepa, diduga pula bahwa orang kuat ini berperan sebagai tokoh yang berada di balik CV. Putra Laitutun, meski tidak secara resmi tercatat sebagai direktur perusahaan tersebut. “Orang kuat” ini disebut-sebut sebagai “bos tersembunyi” yang kerap menggunakan pihak lain sebagai tameng legal dalam pelaksanaan proyek-proyek di wilayah MBD.
Yang mengkhawatirkan, H.S. sendiri diketahui merupakan mantan narapidana dalam kasus penganiayaan bersama, sehingga keberadaannya dalam kasus ini menambah dimensi serius terhadap ancaman keselamatan terhadap insan pers. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa intimidasi ini bukanlah tindakan spontan, melainkan bentuk terorganisir untuk membungkam suara kritis.
Intimidasi semacam ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya Pasal 8 yang menyatakan bahwa wartawan mendapat perlindungan hukum dalam menjalankan profesinya. Selain itu, Pasal 18 ayat (1) UU Pers juga mengatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja menghambat atau menghalangi kegiatan jurnalistik dapat dikenai pidana paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp.500 juta.
Pakar hukum media dari Universitas Padjadjaran, Dr. Sinta Dewi, menyatakan bahwa apabila intimidasi terhadap wartawan dilakukan karena pemberitaan, maka negara wajib hadir untuk melindungi kebebasan pers. Ia menambahkan bahwa tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran terhadap hukum pidana, tetapi juga merupakan bentuk pembungkaman terhadap hak publik untuk tahu dan mengawasi jalannya pemerintahan.
Sementara itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam pernyataan sikapnya menilai bahwa serangan terhadap wartawan adalah bentuk serangan langsung terhadap demokrasi dan kebebasan berekspresi. AJI menekankan bahwa wartawan tidak boleh dibiarkan bekerja dalam tekanan dan ancaman, terlebih ketika mereka sedang membongkar dugaan penyalahgunaan anggaran publik.
Pemred Jurnal Maluku saat ini tengah mempersiapkan laporan resmi ke Kepolisian Resor MBD. Ia juga akan mengadukan kasus ini ke Dewan Pers, serta meminta pendampingan hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dan Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ), sebuah jaringan kolektif yang terdiri dari AJI, IJTI, PWI, dan organisasi masyarakat sipil lainnya.
Dalam keterangannya, Pemred menyatakan bahwa dirinya hanya menjalankan tugas jurnalistik berdasarkan data dan investigasi. Ia menegaskan bahwa tidak ada unsur fitnah atau kebohongan dalam laporan investigatifnya. Semua temuan telah melalui verifikasi dari pemberitaan, media-media lokal sebelumnya pada tahun 2020-2021 serta fakta lapangan.
“Saya hanya menjalankan tugas saya sebagai jurnalis dan pimpinan redaksi. Jika menyuarakan dugaan korupsi membuat saya harus diintimidasi, maka itu artinya demokrasi sedang sakit,” ujarnya dengan suara tenang namun tegas.
Kasus ini memunculkan pertanyaan besar tentang bagaimana proses tender proyek bisa kembali dimenangkan oleh perusahaan yang sebelumnya gagal menyelesaikan pekerjaan secara layak. Fakta bahwa proyek sebelumnya gagal seharusnya menjadi dasar pertimbangan evaluasi kualifikasi rekanan oleh instansi terkait.
Masyarakat sipil di MBD mulai menyuarakan keprihatinan atas kondisi kebebasan pers dan transparansi pemerintahan di daerah mereka. Beberapa tokoh lokal bahkan menyatakan bahwa kasus ini adalah ujian serius bagi aparat penegak hukum dalam menunjukkan komitmen terhadap perlindungan wartawan.
Publik kini menantikan langkah tegas dari pihak Kepolisian, Kejaksaan, maupun pemerintah daerah. Apakah intimidasi terhadap jurnalis akan dibiarkan begitu saja, atau akan segera diusut secara transparan demi menegakkan supremasi hukum dan menjaga kemerdekaan pers di negeri ini? (JM-RED).