JURNNALMALUKU-Salah satu problem klasik tata kelola pembangunan di daerah adalah disharmoni perencanaan antara desa dan kecamatan. Alih-alih saling menguatkan, keduanya justru kerap berjalan sendiri-sendiri. Ketidaksinkronan jadwal, tumpang tindih program, dan duplikasi anggaran menjadi ironi birokrasi yang berulang dari tahun ke tahun. Dalam situasi inilah, Fernando R. Rupilu, SH., LL.M., C.Md, Camat Kisar Utara, hadir dengan gagasan kritis “SI RENJA KE DESA”—sebuah terobosan untuk meretas sekat struktural dan mewujudkan efisiensi sekaligus sinergi pembangunan di tingkat lokal.

Di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), Rencana Kerja Kecamatan lazim disusun lebih awal agar sesuai siklus RKPD Kabupaten, sedangkan RKPDes baru dimulai setelah Musyawarah Desa. Alhasil, usulan desa sering tidak terakomodasi dalam dokumen perencanaan tingkat atas.

Lebih jauh, kondisi ini memunculkan tumpang tindih program. Satu contoh konkret: pembangunan jalan lingkungan yang diajukan desa juga diusulkan kecamatan, sehingga lolos bersamaan. Situasi ini bukan hanya menimbulkan duplikasi anggaran, tetapi juga menurunkan efisiensi pembangunan.
“SI RENJA KE DESA hadir untuk mengakhiri fragmentasi itu. Perencanaan desa dan kecamatan tidak boleh lagi berjalan sendiri-sendiri,” tegas Rupilu.
Gagasan ini tidak berhenti pada aspek teknis, melainkan menempatkan prinsip akademis sebagai landasan: Keterpaduan lintas level – RPJMDes/RKPDes terhubung dengan RENSTRA/RENJA Kecamatan serta RPJMD Kabupaten. Partisipasi inklusif – Musdes dan Musrenbang Kecamatan wajib melibatkan perempuan, pemuda, dan kelompok rentan. Integrasi lintas sektor – pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan infrastruktur dirancang saling melengkapi, bukan berkompetisi. Transparansi dan akuntabilitas – proses sinkronisasi dapat diaudit publik. Efisiensi dan efektivitas – menutup celah duplikasi anggaran demi pembangunan yang lebih bermakna.
Rupilu merumuskan SI RENJA KE DESA melalui lima tahapan sistematis:
1. Persiapan – pembentukan Tim Sinkronisasi melalui SK Camat, melibatkan kecamatan, desa, BPD, pendamping, dan akademisi.
2. Analisis dan Penyelarasan – inventarisasi dokumen, pemetaan isu strategis, irisan program, serta kesenjangan perencanaan.
3. Forum Sinkronisasi – menjadikan Musrenbang Kecamatan arena deliberatif untuk menyatukan rencana desa, kecamatan, dan arah kebijakan kabupaten.
4. Integrasi Digital – penggunaan dashboard SI RENJA KE DESA untuk unggah dokumen, menampilkan irisan program, memantau realisasi secara real-time, dan memberi akses publik.
5. Evaluasi dan Pelaporan – monitoring dilakukan triwulanan maupun tahunan, hasilnya disampaikan ke Bupati melalui Bappeda serta dipublikasikan kepada masyarakat.
Inovasi ini dirancang untuk menghasilkan manfaat bertahap:
Jangka pendek: pembentukan tim resmi, panduan teknis sinkronisasi, serta peningkatan kapasitas aparatur desa.
Jangka menengah: efisiensi anggaran, harmonisasi program, dan pembangunan yang lebih efektif.
Jangka panjang: lahirnya budaya sinergi antarlevel pemerintahan, penguatan akuntabilitas tata kelola, dan dukungan bagi pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal.
Penyusunan panduan sinkronisasi ini turut melibatkan akademisi dari universitas ternama, praktisi, dan OPD terkait. Akademisi mendukung langkah ini, namun memberi catatan penting: sinkronisasi jangan sampai meniadakan otonomi asli desa. Masukan tersebut juga dikuatkan oleh Tim Evaluasi APBDes MBD serta Bappeda MBD.

Menurut Rupilu, keberlanjutan SI RENJA KE DESA tidak cukup hanya berbasis inovasi, tetapi membutuhkan legitimasi regulatif.

“Jangka panjangnya, saya berharap lahir Instruksi Bupati atau bahkan Peraturan Bupati agar sinkronisasi ini bersifat mengikat. Dengan begitu, program ini dapat direplikasi di kecamatan lain di seluruh MBD,” ujarnya.
Dari perspektif akademis, SI RENJA KE DESA merupakan upaya konkret birokrasi lokal mengatasi masalah struktural yang menahun. Namun, implementasinya tidak tanpa hambatan. Resistensi aparatur desa, keterbatasan sumber daya manusia, serta potensi tarik-menarik kepentingan politik menjadi faktor krusial yang perlu diantisipasi.
Meski demikian, jika konsisten dijalankan, SI RENJA KE DESA diyakini dapat menjadi praktik baik (best practice) sinkronisasi pembangunan di tingkat lokal. Lebih dari itu, ia menawarkan model tata kelola baru: pembangunan berbasis kolaborasi, efisiensi, dan transparansi—sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh birokrasi di era otonomi daerah. (JM-EA).