JURNALMALUKU – Kadang, pusat perubahan tidak datang dari kota besar. Ia muncul dari tempat yang jauh, dari laut biru di selatan negeri. Dari Tanimbar, Maluku, energi masa depan Indonesia kini menyala mengingatkan kita bahwa kemajuan bisa tumbuh dari tepian.
Bagi masyarakat setempat, proyek Masela bukan cuma soal pipa dan gas. Ini tentang harapan baru. Tentang peluang kerja, pembangunan, dan bagaimana Tanimbar yang dulu sepi kini mulai ramai oleh aktivitas industri migas.
“Selama kebutuhan energi nasional masih bergantung pada minyak dan gas, sektor hulu migas tidak boleh goyah,” kata Menteri ESDM Bahlil Lahadalia di Jakarta, Selasa, (2/9/2025). Justru harus diperkuat, terutama di wilayah timur seperti Maluku.
Kalimat Bahlil itu menggambarkan posisi Maluku hari ini jantung baru energi nasional. Di tengah dunia yang sibuk bicara soal transisi energi, Indonesia memilih langkah bijak memperkuat energi dalam negeri sambil bersiap beralih ke energi bersih.
Proyek Abadi Masela di Tanimbar termasuk salah satu proyek gas terbesar di Asia Tenggara. Nilai investasinya sekitar 20 miliar dolar AS, dan nantinya bisa menghasilkan 9,5 juta ton gas alam cair per tahun.
Kepala SKK Migas, Djoko Siswanto bilang bahwa Masela bukan cuma proyek industri biasa.
“Masela ini proyek kedaulatan energi. Kalau berhasil, dunia akan lihat bahwa Indonesia Timur bisa jadi pusat energi masa depan,”ujar Siswanto dalam acara peresmian fase Feed proyek LNG Abadi, di Jakarta, Kamis (28/8/2025).
Tak berlebihan. Sebab, dengan Masela, Maluku bakal punya peran penting dalam menjaga ketahanan energi nasional memastikan pasokan energi cukup untuk listrik, industri, dan transportasi.
Industri migas memang tidak mudah. Harga minyak dunia bisa naik-turun, izin dan birokrasi sering rumit, belum lagi desakan untuk segera beralih ke energi hijau. Tapi, kata Dirjen Migas Tutuka Ariadji, Indonesia tidak bisa serta merta meninggalkan migas.
“Kita masih butuh migas. Ini soal ketahanan dan keberlanjutan ekonomi. Hulu migas adalah benteng terakhir kita,” tegasnya.
Karena itu, proyek seperti Masela bukan cuma proyek ekonomi, tapi juga strategi bertahan hidup energi nasional. Dan menariknya, pusat perjuangan itu bukan di Jakarta tapi di Kepulauan Tanimbar.
Dulu, Saumlaki dan pulau-pulau sekitarnya dikenal tenang. Sekarang, suasananya mulai berubah. Penginapan-penginapan baru muncul, toko-toko kebutuhan proyek ramai, pelabuhan sibuk. Banyak anak muda Tanimbar mulai bekerja di sektor migas, baik langsung di lapangan maupun di perusahaan pendukung.
“Maluku jangan cuma jadi penonton. Anak daerah harus ikut terlibat,” kata Prof. Dr. Anderson L. Palinussa, pengamat energi dari Universitas Pattimura.
Manfaat proyek ini harus terasa di masyarakat, bukan hanya di pusat. ” Lapangan kerja baru terbuka lebar bagi warga lokal, Ekonomi kecil menengah mulai tumbuh dari katering, transportasi, sampai penginapan, Pendapatan daerah meningkat, dan bisa dipakai untuk membangun sekolah, jalan, serta fasilitas umum. Infrastruktur berkembang, seperti jalan dan pelabuhan yang dulunya terbatas kini makin terbuka. Warga lokal dilatih, supaya bisa bekerja di industri besar seperti migas,”tutur Palinussa.
Semua ini membuat masyarakat Tanimbar mulai melihat masa depan yang lebih cerah. Tidak lagi sebagai wilayah pinggiran, tapi sebagai pemain penting dalam peta energi Indonesia.
Kini, ketahanan energi nasional tak bisa lagi hanya dilihat dari Jawa atau Sumatra. Wilayah timur, terutama Maluku dan Papua, punya potensi besar baik dari segi sumber daya maupun letak geografis.
“Selama industri hulu migas di timur terus diperkuat, ketahanan energi nasional akan berdiri kokoh,”tutup Prof. Palinussa.
Dari laut biru Tanimbar, Indonesia belajar satu hal penting. Energi bukan cuma soal bahan bakar, tapi tentang kemandirian dan keadilan pembangunan. Dan nyala energi itu kini datang dari timur.(JM.ES)

