Anak menjadi isu penting dalam pembangunan suatu bangsa. anak adalah harapan suatu bangsa. Berbagai definisi tentang anak, ada yang mengatakan anak adalah anugerah, anak adalah pemilik masa depan. Menurut Berne Safari (1992) dalam bukunya yang berjudul Membangun harga diri anak melalui interaksi sosial, terjadi pemenuhan kasih sayang dan sosial anak melalui interaksi sosial, anak belajar anak belajar dan menerima dan memberi kasih sayang dan memahami orang dalam kaidah-kaidah sosial yang digunakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan bagi keberlangsungan hidupnya. Untuk anak yang memiliki masalah psikologis, interaksi sosial yang intim akan membentuk rasa aman, hangat dan kasih sayang. Dimana hal itu dibutuhkan anak dalam proses tumbuh kembang mereka.
Definisi lain dari Kartini Kartono,(1979) yang menjelaskan bahwa anak merupakan pribadi sosial yang memerlukan relasi dan komunikasi dengan orang lain untuk memanusiakan dirinya. Anak ingin dicintai dan dihargai dan diakui. Berkeinginan pula untuk dihitung dan mendapatkan tempat dalam kelompoknya. Hanya dengan relasi dan komunikasi dengan orang lain, misalnya dengan orang tua, pendidik, teman sebaya dan lain- lain.
Anak dapat berkembang menuju kedewasaan. Hubungan anak dengan orang tua maupun orang dewasa lainnya merupakan hubungan yang mempengaruhi. Dengan kata lain individu sosial dengan itu selalu dikomunikasikan dengan orang lain. Anak tidak terlepas dari relasi sosial dimasyarakat dengan sejumlah kaidah dan norma sosial yang menuntut anak untuk tetap menyesuaikan diri. Rasa ingin dicintai, diakui hak dan eksistensinya penting dan mempengaruhi pengembangan diri anak dimasa yang akan datang.
Menurut Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Anak tahun 1989, usia anak-anak merupakan fase usia yang masih belum mencapai usia 18 tahun, batasan usia ini disetujui oleh seluruh anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang meratifikasi konvensi tersebut, termasuk Indonesia. Melalui Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2022 tentang perlindungan anak, mendefinisikan anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Tetapi apakah anak-anak sebagai anugerah dan pemilik masa depan itu telah mendapatkan hak istimewanya? Bagaimana anak peran pemerintah daerah?
Salah satu masalah yang tanpa disadari berdampak bagi anak-anaklah persoalan identitas anak semisal Akta kelahiran anak. Akta kelahiran anak menjadi bagian penting anak sebagai manusia dan warga negara. Tentu akta Kelahiran saat ini menjadi prasyarat penting dalam rangka mengakses layanan pendidikan, kesehatan maupun ketika anak-anak berhadapan dengan hukum.
Menurut data Dukcapil Kemendagri tahun 2021 mencatat ada sembilan Provinsi dengan pencapaian kepemilikan akta kelahiran yang masih rendah. Data di atas terdapat sembilan provinsi dengan pencapaian kepemilikan akta kelahiran yang mash rendah antara lain, Aceh, Sumatera utara, Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi tengah, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Adapun sembilan daerah ini belum memenuhi target cakupan Kepemilikan Akta kelahiran nasional sebesar 92,85% dari 79.964.264 jumlah anak Indonesia berusia 0-8 tahun, sebanyak 72.244.858 jiwa sudah memiliki akta kelahiran sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Tahun 2015 target kepemilikan akta kelahiran sebesar 75% 2015, 2016, 77,5%, 2016, 80,% pada tahun 2017, 82,5%, pada tahun 2018, dan 85 persen ada tahun 2019.
Data tersebut secara kuantitas menunjukan adanya trend peningkatan yang positif secara nasional. Namun disi lain masih banyak anak Indonesia belum memiliki akte kelahiran. Menurut data KPPPA tahun 2021, menjelaskan bahwa ada 5 juta anak di Indonesia yang belum memiliki akta kelahiran. Dari jumlah anak yang tercatat sebanyak 84,4 juta anak. Selanjutnya data kependudukan sipil (Dukcapil) Kemendagri sudah 93 persen anak Indonesia mempunyai akta kelahiran berarti sekitar 6 persen anak-anak Indonesia yang masih belum punya (akta kelahiran).
Fakta tersebut terkonfirmasi bahwa masih banyak anak-anak di daerah terpelosok belum mendapatkan akses fasilitas publik yang merupakan hak mereka. Entah dihalangi oleh birokrasi yang berbelit, masalah perkawinan orang tua dan kondisi geografis, Ini penting bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang pro hak dan kepentingan anak. Dalam tulisan ini, penulis memfokuskan pada wilayah di Indonesia timur dan beberapa faktor yang turut mempengaruhi, Pertama, faktor Kemiskinan, data BPS per maret 2022 menunjukan menunjukan bahwa rata-rata daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi seperti daerah NTT, Papua, Maluku, Papua, Papua barat, kondisi kemiskinan ini turut berdampak bagi literasi dan pengetahuan masyarakat terhadap pemenuhan hak-hak anak.
Kemiskinan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pemenuhan hak-hak anak. Data BPS per maret 2022 menunjukan angka kemiskinan tertinggi yang masih didominasi Provinsi- provinsi di wilayah Indonesia Timur antara lain; Papua 26,56% Papua Barat 21.33%, Nusa Tenggara Timur 20.05% dan Maluku 15, 97%.
Hal ini secara eksplisit menunjukan bahwa dampak kemiskinan pada daerah-daerah tersebut sangat berdampak bagi masa depan anak-anak, dimana masih banyak yang belum mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan dan lainnya, ini erat kaitannya dengan kondisi sosial ekonomi dan politik dan Wilayah timur.
Kedua Kondisi Geografis, kondisi geografis daerah di indonesia timur adalah daerah kepulauan yang Masyarakat di pulau-pulau kecil belum sepenuhnya dapat mengakses layanan pemerintah. Faktanya bahwa masih banyak anak-anak di daerah terpelosok belum mendapatkan akses fasilitas publik yang merupakan hak mereka. Entah dihalangi oleh birokrasi yang berbelit, masalah perkawinan orang tua yang belum menikah, kondisi geografis, adat dan budaya.
Ini penting bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang pro hak dan kepentingan anak.
Peran Pemerintah Daerah
Pentingnya peran pemerintah daerah dalam implementasi kebijakan di daerah, mesti mempertimbangkan mesti mewujudkan tugasnya dalam hal perlindungan terhadap anak, sebagaimana amanat Undang-undang 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dimana Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati pemenuhan Hak Anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum, urutan kelahiran, dan kondisi fisik dan/atau mental. (2) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Anak. (3) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan di bidang penyelenggaraan Perlindungan Anak. (4) Untuk menjamin pemenuhan Hak Anak dan melaksanakan kebijakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Daerah berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melaksanakan dan mendukung kebijakan nasional dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak di daerah.
Hadirnya negara melalui kebijakan politik untuk anak melalui regulasi peraturan daerah bentuk pengejawantahan undang-undang. Kebijakan pemerintah daerah yang lebih pro kepentingan anak atau ramah anak, menyediakan post anggaran untuk perlindungan anak, mempermudah alur birokrasi yang berbelit, dengan harapan semua anak-anak mendapatkan akses yang sama dengan anak-anak di Indonesia timur mendapatkan hak yang sama dengan anak- anak di belahan dunia lain. Identitasnya diakui dan kehidupannya terjamin.
Penulis; Olifia Hukunala, M.Sos
(Founder Literasi Politik Perempuan dan Anak Melanesia)