JURNALMALUKU – Polemik tarif buruh bongkar muat di Pelabuhan Kaiwatu, Kecamatan Moa, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), kembali mencuat dalam rapat gabungan Komisi II dan III DPRD MBD yang digelar pada Kamis (22/5/2025).
Rapat tersebut turut menghadirkan sejumlah pengusaha, perwakilan Dinas Perhubungan, Disperindag, serta Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM). Alih-alih mencari solusi atas persoalan logistik yang kompleks di wilayah kepulauan ini, sebagian peserta rapat justru menyoroti tarif buruh sebagai penyebab utama mahalnya harga barang di MBD.
Pandangan tersebut langsung mendapat sorotan dari berbagai kalangan, yang menilai bahwa narasi menyalahkan buruh adalah bentuk penyederhanaan persoalan yang justru menyesatkan publik.
Pemerhati isu buruh dan logistik MBD, Stevano Elisa Christian, menyebut tudingan terhadap buruh sebagai bentuk pengalihan isu. Menurutnya, persoalan utama justru terletak pada distribusi barang yang tidak konsisten, keterbatasan fasilitas pelabuhan, dan lemahnya pengawasan teknis di lapangan.

“Kontribusi tarif buruh terhadap total biaya logistik sangat kecil. Buruh hanya menjalankan tugas berdasarkan tarif resmi yang telah disepakati dalam forum formal yang difasilitasi pemerintah,” ujar Stevano yang akrab disapa Ongen Christian kepada media ini, Minggu (25/5/2025).
Dirinya menegaskan, tarif buruh di Pelabuhan Kaiwatu telah disahkan melalui kesepakatan bersama antara Satker Pelabuhan Moa, Satker UPP Wonreli, Camat Moa, dan Koperasi TKBM, sehingga sah secara hukum dan administrasi.
Dirinya bahkan mengutip Pasal 24 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 60 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa penetapan tarif TKBM harus disepakati antara penyedia dan pengguna jasa melalui perjanjian kerja.
“Kalau ada oknum buruh yang menyimpang, itu ranah pembinaan dan pengawasan. Bukan berarti seluruh buruh dan koperasi bisa disamaratakan,” tegasnya.
Ongen juga mengingatkan bahwa dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 88, negara menjamin setiap pekerja mendapatkan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Karena itu, menekan tarif buruh hanya demi efisiensi usaha dinilai sebagai pelanggaran atas prinsip hubungan industrial yang adil dan manusiawi.
Dalam forum yang sama, Wakil Ketua I DPRD MBD Johand A. Mose turut mengakui bahwa tarif buruh telah ditetapkan secara formal. Namun, ia menyoroti adanya dugaan pungutan liar oleh oknum tertentu dalam proses pembongkaran barang.
Menanggapi hal itu, Ongen menjelaskan bahwa beberapa jenis barang, seperti material bangunan dan bahan curah, memang memerlukan perlakuan khusus dan tenaga ekstra, sehingga tarif teknis bisa berbeda.
“Yang perlu dibenahi adalah sistem klasifikasi kerja dan pengawasan di lapangan, bukan menyalahkan buruh sebagai pelaku tunggal,” tegasnya.
Salah satu faktor utama mahalnya harga barang di MBD, kata Ongen, adalah tidak optimalnya trayek kapal Tol Laut. Dari 12 trayek subsidi yang seharusnya masuk ke wilayah MBD, hanya enam yang terealisasi dalam beberapa bulan terakhir.
Akibatnya, terjadi keterlambatan distribusi, kelangkaan stok di pasar, dan lonjakan harga yang kerap memukul konsumen serta pedagang kecil.
“Ketika kapal subsidi tidak masuk, barang terlambat, harga naik, buruh disalahkan. Ini bentuk ketidakadilan struktural yang terus berulang,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah semestinya hadir lebih kuat sebagai fasilitator utama dalam sistem logistik nasional, sebagaimana diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Permenaker Nomor 33 Tahun 2016 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan.
Sementara itu, aktivis pemberdayaan masyarakat MBD, Demas Daniel, S.H., juga menyesalkan kecenderungan menyalahkan buruh setiap kali terjadi gejolak harga.

“Diskursus soal tarif buruh ini sering digunakan sebagai pengalihan dari fakta lemahnya sistem logistik dan absennya perencanaan distribusi yang terjadwal dan terintegrasi,” ujarnya.
Demas menyerukan agar DPRD dan Pemkab MBD berdiri di sisi buruh dalam membenahi sistem distribusi barang yang adil dan berkelanjutan.
“Buruh bukan beban. Mereka adalah tulang punggung logistik daerah kepulauan. Tanpa mereka, distribusi lumpuh,” pungkasnya.(Redaksi).