JURNALMALUKU — Anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold Tbk, yakni PT Batutua Tembaga Raya (BTR) dan PT Batutua Kharisma Permai (BKP), dikabarkan akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 700 karyawan hingga akhir Desember 2025.

Informasi ini disampaikan manajemen BTR/BKP kepada Komisi III DPRD Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) saat kunjungan kerja ke lokasi tambang di Desa Lurang pada Senin, 7 Juli lalu. Perusahaan menyebut penurunan jumlah produksi tembaga sebagai alasan utama kebijakan tersebut.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPRD MBD, Zeth Oskar Faumasa, menilai alasan tersebut tidak logis dan terkesan mengada-ada.

“Ketika perusahaan mampu mencapai target dan bahkan menekan biaya operasional secara signifikan, keputusan untuk memberhentikan 700 karyawan menjadi sangat tidak adil. Ini menimbulkan pertanyaan besar: motif apa yang sebenarnya ada di balik kebijakan ini?” kata Zeth saat diwawancarai di Tiakur, Rabu (17/7/2025).

Berdasarkan laporan resmi PT Merdeka Copper Gold yang dirangkum media ini, tercatat bahwa pada tahun 2024, biaya operasional (Cash Cost) BTR/BKP turun drastis dari US$ 3,17 per pon (2023) menjadi US$ 2,63 per pon. Sebagai perbandingan, Tahun 2023, All-in Sustaining Cost (AISC) pada tahun 2023 berada di angka US$ 4,20 per pon. Bahkan, target Cash Cost tahun 2025 diproyeksikan lebih rendah lagi, yakni di kisaran US$ 1,60–2,00 per pon.

Sebagai tokoh asal daerah tersebut, Zeth menyebut keputusan ini menyakiti rasa keadilan masyarakat. Ia menyinggung masa awal operasional tambang pada kurun waktu tahun 2006 s/d 2009, yang tetap menggaji ratusan karyawan meski belum ada produksi maupun pendapatan.
“Kini justru saat ekspor rutin berlangsung — dalam sebulan bisa lima kali pengapalan dengan kapasitas tongkang 11 ribu ton — ratusan tenaga kerja dikorbankan dengan dalih menunggu izin eksplorasi di lokasi baru,” ungkapnya dengan nada kesal.

Menurutnya, penurunan target produksi tahun 2025 yang berada pada kisaran 11.000–13.000 ton tidak cukup signifikan untuk dijadikan dasar PHK besar-besaran. Apalagi perusahaan tengah berada dalam kondisi operasional yang sangat efisien.
“Kalau efisiensi dijadikan alasan, bukankah hasilnya seharusnya dinikmati bersama? Termasuk oleh para pekerja yang telah berkontribusi membangun perusahaan sejak awal,” tandasnya.
Zeth menegaskan bahwa perusahaan harus menyadari bahwa keberlanjutan bukan hanya soal laba semata, melainkan juga menjamin kelangsungan hidup pekerja dan masyarakat lokal. Ia dan Komisi 3 DPRD MBD akan segera berkoordinasi dengan Pemprov Maluku, DPRD Maluku dan BKN Maluku terkait hal ini.

“Jangan jadikan efisiensi sebagai tameng untuk merampas hak-hak buruh. Transparansi adalah satu-satunya jalan untuk mencegah gejolak sosial yang lebih besar, jika jalur birokrasional tidak mampu mengamankan kepentingan buruh maka jangan salahkan para buruh jika terjadi demonstrasi besar-besaran di areal tambang” tutupnya. (JM-EA).