JURNALMALUKU—Insiden dugaan intimidasi dan kekerasan yang melibatkan seorang oknum anggota TNI Angkatan Darat di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), menuai sorotan serius. Peristiwa ini dilaporkan terjadi pada tengah malam, sekitar pukul 01.00 WIT, Jumat (26/12/2025), di Desa Leklor, saat situasi lingkungan dalam kondisi tenang pasca perayaan Natal.
Peristiwa tersebut tidak hanya menyangkut dugaan kekerasan fisik terhadap warga sipil dan insan pers, tetapi juga memunculkan pertanyaan besar tentang disiplin, kewenangan, dan profesionalisme aparat teritorial di lapangan.
Korban dalam insiden ini adalah Pimpinan Redaksi Jurnal Maluku, yang mengaku mengalami kekerasan fisik berupa pencekikan leher, disertai makian dengan kata “anjing”, yang dilontarkan oleh seorang anggota TNI AD berinisial Agus Sorkey (AS), anggota Koramil Pulau-Pulau Terselatan, saat korban sedang berlibur Natal di Pulau Kisar.
Menurut keterangan yang dihimpun, insiden terjadi ketika korban menegur AS terkait tindakannya dalam sebuah persoalan ketertiban dan keamanan masyarakat (kamtibmas). Namun, teguran tersebut justru berujung pada tindakan fisik. AS bahkan disebut secara terbuka menyatakan tidak takut dipecat dari institusi TNI AD.
AS mengaku sebagai Babinsa Desa Wonreli, sementara lokasi kejadian berada di Desa Leklor, yang secara administratif dan teritorial bukan wilayah pembinaannya. Fakta ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai batas kewenangan Babinsa serta prosedur penanganan persoalan kamtibmas di luar wilayah tugas.
Lebih jauh, AS juga disebut menyatakan bahwa dirinya sebagai anggota militer tidak perlu melaporkan persoalan kamtibmas ke Polsek setempat. Pernyataan tersebut dinilai bertentangan dengan prinsip supremasi sipil dan sistem hukum nasional, di mana urusan kamtibmas merupakan domain utama Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Informasi lain menyebutkan bahwa AS mendatangi pemuda Desa Leklor dalam kondisi diduga berada di bawah pengaruh minuman keras. Kedatangannya untuk meminta penjelasan atas teguran pemuda desa terhadap seorang PNS Puskesmas Wonreli bernama Yeri Samangun, yang sebelumnya membunyikan pengeras suara secara berlebihan tanpa memperhatikan kenyamanan lingkungan sekitar.
Dalam situasi tersebut, pemuda Desa Leklor dinilai telah bertindak secara dewasa dan proporsional dengan mengedepankan teguran sosial, bukan kekerasan. Namun, mereka justru mendapat ancaman dari AS yang menyatakan akan melibatkan BKO TNI yang berada di Desa Lebelau, Kecamatan Kisar Utara, untuk “menangani” pemuda Desa Leklor.
Ancaman tersebut memperkuat dugaan adanya intimidasi dengan membawa-bawa institusi dan kesatuan militer, baik terhadap pemuda desa maupun terhadap pimpinan redaksi media lokal.
Tindakan intimidasi dan ancaman dengan menggunakan atribut atau pengaruh militer bertentangan dengan sejumlah aturan hukum di Indonesia, antara lain:
Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, Pasal 2 dan Pasal 7, yang menegaskan bahwa TNI bersikap profesional, tunduk pada hukum, dan tidak boleh bertindak di luar tugas serta kewenangannya.
KUHP Pasal 335, yang mengatur larangan perbuatan tidak menyenangkan dan ancaman terhadap orang lain.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers dan melarang segala bentuk intimidasi terhadap jurnalis.
Prinsip supremasi hukum dan supremasi sipil, di mana aparat bersenjata tidak dibenarkan mengambil alih fungsi penegakan hukum sipil.
Penggunaan ancaman dengan melibatkan kesatuan militer dalam konflik sosial warga sipil berpotensi melanggar disiplin militer dan mencederai kepercayaan publik terhadap institusi TNI.
Atas peristiwa ini, masyarakat mendesak adanya:
Teguran keras dan pembinaan dari Danramil Pulau-Pulau Terselatan dan Dandim terhadap oknum anggota TNI AD yang bersangkutan.
Pembinaan dan sanksi administratif dari Kepala Puskesmas Wonreli dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten MBD terhadap PNS yang diduga memicu persoalan sosial melalui tindakan tidak etis di ruang publik.
Klarifikasi terbuka dari pimpinan TNI setempat terkait langkah penanganan dan komitmen menjaga profesionalisme aparat teritorial.
Kasus ini menjadi ujian serius bagi komitmen institusi negara dalam menjunjung hukum, melindungi warga sipil, serta memastikan bahwa aparat militer tidak menyalahgunakan kewenangan di tengah masyarakat. (JM–01).

