JURNALMALUKU-Suasana rapat dengar pendapat (RDP) Komisi II DPRD Maluku memanas setelah Kepala Inspektur Tambang Wilayah Maluku tidak hadir dalam agenda penting membahas insiden lingkungan akibat patahnya tongkang milik PT Batutua Tembaga Raya (BTR).
Insiden patahnya tongkang yang mengangkut material tambang pada 26 Agustus 2025 itu diduga menyebabkan pencemaran laut, matinya ikan, serta kerusakan biota akibat tumpahan material tambang yang bercampur dengan air laut dan diduga mengandung limbah B3.
Koordinator sementara Inspektur Tambang Wilayah Maluku, Helena Heumasse, diketahui baru hadir setelah ditelepon langsung oleh staf Komisi II DPRD Maluku. Keterlambatan itu memicu kemarahan sejumlah anggota dewan yang merasa sikap tersebut tidak menghormati lembaga legislatif.

“Dia sering nongkrong di rumah kopi Joas, tapi begitu kami undang resmi justru tidak hadir,”sindir salah satu anggota Komisi II dengan nada kesal.
Ketidakhadiran Kepala Inspektur Tambang tersebut dinilai sebagai bentuk ketidakkooperatifan yang tidak dapat ditolerir. “Ini undangan pertama yang diabaikan. Kami tegaskan, ini yang pertama dan terakhir! Kalau ke depan diundang lagi dan tidak datang, akan kami tindak sesuai ketentuan,”tegas pimpinan rapat.
Rapat itu dihadiri perwakilan PT Batutua, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Maluku, serta Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku. Fokus pembahasan berkisar pada dampak lingkungan dari insiden tongkang yang disebut telah melakukan 28 kali pemuatan material.

Ketua Komisi II juga mempertanyakan legalitas operasi tongkang tersebut. “Apakah kapal ini punya izin operasi? Jangan-jangan tongkangnya sudah tidak layak berlayar,” ujarnya menyorot.
Menanggapi hal itu, Kepala Dinas ESDM Maluku, Abdul Haris, mengakui bahwa kewenangan perizinan operasional berada pada pemerintah pusat, namun pihaknya akan tetap menelusuri data lapangan dan memastikan dampak lingkungan ditindaklanjuti.
Sementara pihak Inspektur Tambang berdalih ketidakhadiran Kepala Inspektur karena belum memperoleh izin dari pimpinan di Jakarta. Namun alasan itu ditolak mentah-mentah oleh DPRD yang menilai koordinasi antara pusat dan daerah tidak boleh menjadi penghalang dalam penanganan persoalan serius seperti pencemaran lingkungan. (JM-AL).