JURNALMALUKU–Rencana pemerintah pusat untuk membentuk Koperasi Merah Putih di seluruh desa di Indonesia, termasuk di Provinsi Maluku, mendapat perhatian serius dari anggota DPRD Provinsi Maluku, Yani Noach. Legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu menilai, kebijakan tersebut berpotensi menghadapi sejumlah tantangan krusial, baik secara regulasi, sosial budaya, maupun teknis pelaksanaan di lapangan.
Koperasi Merah Putih yang digagas berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2025, menurut Yani, perlu dikaji ulang dengan mempertimbangkan karakteristik wilayah dan kesiapan masyarakat. Ia mengingatkan bahwa koperasi tidak boleh dibentuk atas dasar paksaan atau intervensi negara.
“Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 dan UU No. 17 Tahun 2012 menegaskan bahwa koperasi harus dibentuk secara sukarela dan mandiri. Tidak boleh ada tekanan dari pemerintah,” tegas Yani saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (8/5/2025).
Ia menilai bahwa bentuk intervensi pemerintah dalam pendirian koperasi justru dapat melahirkan persoalan baru di kemudian hari, terutama dalam hal keberlangsungan dan rasa kepemilikan anggota terhadap koperasi yang mereka bentuk.
“Kalau koperasi dibentuk karena tekanan atau proyek pemerintah, maka yang terjadi bukan pemberdayaan, tetapi ketergantungan. Rasa memiliki dari anggota akan lemah,” ujarnya.
Di Maluku, Yani menilai sejumlah kondisi mendasar menjadi tantangan tersendiri dalam implementasi Koperasi Merah Putih. Salah satunya adalah jumlah penduduk desa yang sangat minim. Banyak desa hanya berpenduduk di bawah 500 jiwa, sehingga dalam praktiknya akan digabungkan dengan desa lain.
Menurutnya, penggabungan itu sangat rentan gagal karena budaya kerja kolektif di masyarakat belum cukup kuat, terutama dalam konteks kerja bersama lintas desa yang memiliki identitas sosial dan adat masing-masing.
Tantangan lain adalah keterbatasan sumber daya manusia dan bahan baku. Usaha koperasi seperti klinik desa, apotek, maupun sektor agribisnis membutuhkan tenaga ahli dan pasokan barang yang tidak mudah diperoleh di desa-desa terpencil Maluku.
Yani juga menyoroti aspek persaingan ekonomi yang bisa terjadi jika koperasi baru ini tidak diintegrasikan dengan ekosistem ekonomi lokal yang sudah ada. Ia khawatir koperasi justru akan menjadi pesaing bagi toko masyarakat atau koperasi lama yang telah lebih dulu berjalan.
“Pasar kita sangat terbatas. Kalau koperasi desa bersaing dengan usaha lokal yang sudah ada, itu bisa memicu konflik sosial dan ekonomi,” ujarnya lagi.
Selain itu, Yani menekankan soal kemampuan manajerial dalam mengelola dana yang besar. Dalam skema awal, koperasi ini direncanakan akan menerima alokasi dana hingga Rp3–5 miliar. Menurutnya, tanpa kesiapan SDM, dana sebesar itu sangat rawan disalahgunakan atau dikuasai oleh segelintir elite lokal.
Ia juga mengangkat masalah geografis Maluku yang kepulauan, yang membuat akses transportasi dan pasar menjadi mahal dan sulit. Hal ini berisiko besar dalam distribusi produk koperasi serta meningkatkan ongkos logistik.
“Kalau tidak dihitung secara matang, ongkos distribusi saja bisa menggerus keuntungan koperasi. Wilayah kita ini tidak bisa disamakan dengan daerah daratan seperti di Jawa,” katanya.
Yani mencatat, dari total 3.865 koperasi yang terdaftar di Provinsi Maluku, sebanyak 1.374 di antaranya tidak aktif. Artinya, hampir sepertiga koperasi di daerah ini mati suri karena berbagai faktor, termasuk lemahnya manajemen dan dukungan masyarakat.
Ia mengusulkan agar pemerintah daerah lebih realistis dengan memulai pembentukan koperasi dari pilot project di desa-desa yang benar-benar siap, baik secara SDM, akses, maupun ekosistem pasar.
Selain itu, ia menyarankan pembentukan koperasi sekunder di tingkat kecamatan sebagai langkah integratif yang lebih terukur, dengan dukungan pelatihan tata kelola, pengawasan berkala, serta edukasi publik tentang fungsi dan tanggung jawab anggota koperasi.
“Kalau ini tidak dikawal secara ketat, yang terjadi adalah koperasi dibentuk hanya untuk mengejar dana, tanpa kesiapan nyata di lapangan,” pungkasnya. (JM-AL)