JURNALMALUKU-WWF Indonesia bersama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) menggelar pelatihan pengelolaan sampah di Desa Wakarleli, Kecamatan Moa, pada 2–3 Juni 2025. Kegiatan ini dirancang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya pemilahan dan daur ulang limbah, khususnya dalam mendukung konservasi wilayah pesisir dan laut.

Acara pelatihan dibuka oleh Kepala DLH MBD, Dalma Eoh, yang hadir mewakili Penjabat Sekda Kabupaten MBD, Daud Reimialy. Dalam sambutannya, Dalma menegaskan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menjaga lingkungan, terutama di kawasan pesisir yang rentan terhadap pencemaran.
“Pelatihan ini tidak hanya bicara soal sampah, tetapi bagaimana menjadikannya peluang ekonomi yang ramah lingkungan. Ini bagian dari pendekatan strategis untuk mewujudkan ekowisata berkelanjutan di wilayah konservasi perairan,” ujarnya.
Program pelatihan ini merupakan bagian dari inisiatif “Responsible Marine Tourism” yang selama ini dijalankan WWF Indonesia. Salah satu fokus utamanya adalah mengurangi volume sampah plastik yang masuk ke laut dari aktivitas daratan.
Pulau Moa sendiri merupakan bagian dari kawasan konservasi laut seluas 1,3 juta hektare—sekitar 4 persen dari target konservasi nasional. Namun, wilayah ini masih menghadapi tantangan besar dalam pengelolaan sampah, terutama akibat keterbatasan infrastruktur dan kesadaran masyarakat.
Hasil pemantauan WWF tahun 2023 di Pantai Syota mencatat bahwa 40 persen sampah yang ditemukan merupakan plastik keras, jenis limbah yang paling sulit terurai secara alami dan berpotensi mencemari rantai makanan laut.
Sebagai langkah nyata, pelatihan ini juga melibatkan komunitas lokal seperti Plastic Free Ocean Network (PFON) serta sejumlah pengelola bank sampah. Mereka dilatih bukan hanya memilah, tetapi juga mengolah sampah menjadi produk kreatif yang memiliki nilai ekonomi.

Dalma Eoh menyatakan harapannya agar peserta benar-benar memanfaatkan kesempatan ini untuk mengubah cara pandang terhadap sampah. “Sampah bukan musuh, tapi bisa menjadi sumber daya baru bila dikelola dengan benar,” katanya.
Sementara itu, Koordinator WWF Indonesia untuk Kabupaten MBD, Hery Siahaan, menyebut bahwa edukasi lingkungan harus dimulai dari rumah tangga sebagai unit terkecil penghasil sampah. Ia juga menekankan bahwa perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil di tingkat lokal.
“Tujuan utama kami adalah membentuk perilaku sadar lingkungan dalam aktivitas sehari-hari. Konservasi bukan hanya soal menjaga laut, tapi juga soal gaya hidup,” ungkap Hery.
Ia menambahkan, praktik daur ulang yang diterapkan dengan konsisten dapat membuka lapangan usaha baru dan memperkuat fondasi ekonomi masyarakat berbasis potensi lokal.
Menurut Hery, edukasi dan pelatihan seperti ini merupakan salah satu cara terbaik untuk mendorong pertumbuhan ekowisata, di mana masyarakat menjadi pelaku utama sekaligus penjaga alamnya.
Lebih jauh, ia berharap kolaborasi antara lembaga konservasi, pemerintah, dan masyarakat dapat terus diperkuat untuk menciptakan kawasan pesisir yang bersih, sehat, dan produktif.
“Dengan semangat gotong royong, kita bisa menjadikan pengelolaan sampah sebagai gerakan kolektif, bukan sekadar tanggung jawab pemerintah,” tegasnya.
Pelatihan ini diakhiri dengan sesi praktik langsung, di mana peserta diajak membuat kerajinan tangan dari bahan daur ulang, sebagai bukti bahwa limbah pun bisa bernilai bila dikelola dengan inovatif. (JM-RR)