JURNALMALUKU—Pelayanan kesehatan di Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD) kembali menuai sorotan tajam. Anggota DPRD Kabupaten MBD dari Partai NasDem, sekaligus Ketua DPD Partai NasDem Kabupaten MBD dan wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) III, Winnetou Akse, S.T., mengungkapkan kronologis kejadian pelayanan kesehatan yang dinilainya sangat memprihatinkan, tidak profesional, bahkan tidak manusiawi.
Saat dimintai keterangan oleh wartawan media ini melalui sambungan WhatsApp pada Minggu (14/12/2025), Winnetou Akse menjelaskan bahwa peristiwa tersebut bermula ketika dirinya berada di atas kapal yang bertolak dari Pelabuhan Kroing. Di atas kapal yang sama, terdapat seorang pasien yang sudah dalam kondisi terpasang infus, namun sangat mengejutkan karena tidak didampingi oleh satu pun petugas kesehatan.
Merasa ada kejanggalan serius, Winnetou Akse langsung melakukan pengecekan. Dari hasil penelusurannya, diketahui bahwa pasien tersebut merupakan pasien rujukan dari Puskesmas Ahanari. Menyikapi kondisi itu, ia menyampaikan keberatan keras dan mempertanyakan tanggung jawab pihak puskesmas, mengingat pasien dengan kondisi infus seharusnya wajib didampingi tenaga medis. Setelah melalui perdebatan dan koordinasi, akhirnya satu orang petugas dari Puskesmas Ahanari menyusul dan ikut mendampingi pasien di atas kapal.
Namun, persoalan tidak berhenti di situ. Dalam perjalanan, Winnetou Akse menerima informasi yang kembali membuatnya geram. Petugas Puskesmas Ahanari yang mendampingi pasien menyampaikan bahwa Kepala Puskesmas Ahanari enggan bertanggung jawab atas penanganan pasien tersebut. Situasi semakin memprihatinkan ketika kondisi pasien memburuk dan petugas berinisiatif mengeluarkan oksigen untuk dipasang. Alih-alih mendukung tindakan penyelamatan, Kepala Puskesmas Ahanari justru memarahi petugas dan mempertanyakan tindakan tersebut karena dinilai tidak melalui koordinasi.
Sikap tersebut dinilai Winnetou Akse sangat tidak masuk akal dan bertentangan dengan prinsip dasar pelayanan kesehatan. Menurutnya, dalam situasi darurat, keselamatan dan nyawa pasien harus menjadi prioritas utama, bukan justru terhambat oleh ego jabatan dan prosedur birokrasi yang kaku.
Melihat kondisi yang semakin kritis, Winnetou Akse kemudian mengambil langkah cepat dengan menghubungi langsung Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Maluku Barat Daya. Menindaklanjuti laporan tersebut, Kepala Dinas Kesehatan segera memerintahkan pegawai kesehatan yang berada di atas kapal untuk mengantar pasien. Selanjutnya, dilakukan koordinasi lanjutan agar pihak puskesmas menyiapkan petugas kesehatan lain untuk menunggu pasien melalui jalur darat di Tepa, mengingat rute pelayaran kapal dari Kroing menuju Dawelor, Day, dan berakhir di Tepa. Untuk kelengkapan administrasi, surat rujukan direncanakan menyusul melalui jalur darat.
Namun, setibanya di Tepa, kembali muncul kabar yang mengecewakan. Winnetou Akse menerima informasi bahwa Kepala Puskesmas Ahanari menolak mengirimkan petugas kesehatan, dengan alasan tidak ingin mengetahui ataupun menangani pasien tersebut. Padahal, pasien masih dalam kondisi terpasang infus dan sangat membutuhkan pendampingan tenaga medis.
Karena tidak adanya petugas kesehatan yang siap bertanggung jawab, Winnetou Akse akhirnya meminta agar pasien diturunkan di Tepa. Pada titik inilah rasa marah dan kekecewaannya memuncak. Ia menilai kejadian tersebut sebagai cerminan buruknya tanggung jawab dan lemahnya empati dalam pelayanan kesehatan di tingkat puskesmas.
Melalui kejadian ini, Winnetou Akse secara tegas mendesak Pemerintah Daerah Kabupaten Maluku Barat Daya, khususnya Bupati dan Sekretaris Daerah, agar melihat persoalan ini secara serius dan tidak menutup mata. Ia meminta dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap Dinas Kesehatan, Puskesmas Ahanari, serta secara khusus terhadap Kepala Puskesmas Ahanari.
Menurutnya, sikap yang ditunjukkan oleh Kepala Puskesmas Ahanari sudah tidak layak ditoleransi dan mencerminkan perilaku yang tidak manusiawi. Ia menegaskan bahwa yang bersangkutan seharusnya segera dinonaktifkan dari jabatannya, karena telah mengabaikan keselamatan pasien dalam situasi darurat.
Lebih lanjut, Winnetou Akse menekankan bahwa seluruh tenaga kesehatan, baik di Dinas Kesehatan maupun di Puskesmas, digaji dari pajak rakyat. Oleh karena itu, tidak boleh ada alasan apa pun untuk menolak memberikan pelayanan dan pertolongan kemanusiaan kepada masyarakat.
Ia juga meluruskan bahwa persoalan ini bukan berkaitan dengan biaya rujukan hingga ke Tiakur, karena dirinya secara pribadi telah mengurus ketersediaan kamar bagi pasien di atas kapal. Permasalahan utama yang terjadi adalah ketiadaan tenaga kesehatan yang bersedia mendampingi pasien, sehingga pasien terpaksa diturunkan di Tepa.
“Ini bukan soal administrasi, ini soal nyawa manusia. Pemerintah daerah harus bersikap tegas dan bertanggung jawab agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali,” tegas Winnetou Akse.
Kasus ini diharapkan menjadi perhatian serius bagi seluruh pemangku kebijakan di Kabupaten Maluku Barat Daya, sekaligus menjadi momentum untuk membenahi sistem pelayanan kesehatan agar benar-benar berpihak pada keselamatan dan kemanusiaan. (JM–AL).

