JURNALMALUKU-Suasana Selasa (07/10/2025) malam di Café Wailela, Ambon, terasa berbeda. Di bawah langit yang mendung, para pegiat literasi digital, anak muda, dan aktivis organisasi kepemudaan (OKP/OKPI) berkumpul dalam forum hangat bersama Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi), Meutya Hafid.
Dalam suasana santai namun penuh makna, mereka berdialog langsung tentang isu besar yang selama ini dirasakan di timur Indonesia, yaitu ketimpangan akses digital, harga internet yang mahal, dan kesenjangan pembangunan infrastruktur teknologi informasi.
Pertemuan bertajuk “Temu Komunitas Literasi Digital dan OKP/OKPI bersama Menteri Komdigi” ini juga dihadiri oleh Dirjen Komunikasi Publik dan Media, Fifi Aleyda Yahya, Kepala Badan Pengembangan SDM Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, serta Direktur Informasi Publik, Dr. Nursodik Gunarjo.
Kegiatan ini menjadi ruang terbuka yang mempertemukan pemerintah pusat dan masyarakat akar rumput. Bukan forum formal dengan podium dan protokol ketat, tetapi diskusi dua arah yang hidup dan setara.
Hadir berbagai komunitas dan organisasi seperti Relawan TIK Maluku, Mafindo Maluku, Paparisa Ambon Bergerak, Terakota Ambon, GP Ansor Maluku, KNPI Maluku, HMI Badko Maluku, BEM Nusantara Maluku, Banser Kota Ambon, serta Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon.
Di meja-meja sederhana, mereka berbagi pengalaman, menyampaikan keluhan, dan menawarkan solusi tentang bagaimana ekosistem digital di Maluku bisa lebih maju dan adil.
Diskusi dibuka dengan sebuah kejujuran yang menggugah.
Rusda Leikawa, Koordinator Wilayah Mafindo Maluku, berbicara tentang tantangan literasi digital yang kini semakin berat.
“Perilaku konten kreator, terutama TikTokers dan FB Pro, sangat sulit sekali diedukasi apalagi terkait budaya dan etika digital,” katanya dengan nada serius.
“Banyak konten yang tidak mendidik, bahkan saling hujat sesama kreator. Ibu-ibu pengguna Facebook jadi resah, masyarakat terbelah. Ini sudah mengganggu ketenangan sosial kita,”sambungnya.
Kalimat Rusda menampar kesadaran bersama bahwa dunia digital tak hanya soal jaringan dan teknologi, tetapi juga soal nilai, akhlak, dan etika bermedia.
Bagi komunitas seperti Mafindo dan Relawan TIK, masalah ini sama pentingnya dengan pembangunan infrastruktur. Karena tanpa budaya digital yang sehat, ruang maya hanya akan jadi ladang konflik baru.
Dalam dialog itu, isu paling menonjol adalah mahalnya harga kuota dan layanan internet di wilayah timur Indonesia. Para pegiat menilai ketimpangan harga antara kawasan barat dan timur sudah berlangsung lama dan harus segera diatasi.
“Kami berharap Kementerian Komdigi memperjuangkan kesetaraan harga kuota dan Indihome antara barat dan timur. Di Maluku, harga internet jauh lebih mahal karena dominasi satu provider besar yang menghambat persaingan,” ujar Ketua KNPI Maluku, Arman Kalean.
Kondisi ini, lanjut mereka, menciptakan jurang digital yang nyata. Mahasiswa dan pelajar di Maluku harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk belajar daring, sementara UMKM dan kreator lokal kesulitan bersaing karena jaringan yang lambat dan tidak stabil.
“Bagaimana kami bisa masuk ke ekonomi digital kalau akses jaringan saja masih mahal dan lambat?” keluh Pierre A. Ajawaila dari Paparisa Ambon Bergerak.
Selain persoalan harga internet, peserta juga menyoroti minimnya infrastruktur TIK di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Hingga kini, masih banyak kawasan kepulauan di Maluku yang belum memiliki akses sinyal sama sekali akibat belum tersedianya menara telekomunikasi.
“Banyak desa di Kepulauan Aru, Seram Utara, Buru Selatan, Seram Bagian Timur, Kepulauan Tanimbar, dan Maluku Barat Daya masih berada dalam kondisi blank spot. Kami berharap Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) dapat mempercepat pemerataan infrastruktur, agar masyarakat di pulau-pulau kecil juga bisa ikut dalam transformasi digital,” ungkap Aril Salamena, Relawan TIK Maluku.
Menurut para peserta, di era sekarang internet bukan lagi kebutuhan sekunder, melainkan telah menjadi kebutuhan dasar yang menentukan masa depan pendidikan, ekonomi, hingga pelayanan publik.
Di sisi lain, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Ambon menyoroti pentingnya pemerataan akses digital sebagai bagian dari hak warga negara untuk memperoleh dan menyebarkan informasi.
Sekretaris AJI Ambon, Habil Kadir, menegaskan bahwa keadilan digital bukan semata isu teknologi, melainkan juga isu demokrasi dan kebebasan pers.
“Kalau masyarakat di pulau-pulau kecil tidak punya akses internet yang layak, mereka kehilangan hak untuk tahu dan untuk bersuara. Padahal, kebebasan berekspresi di era digital hanya bisa hidup jika semua warga punya akses yang sama terhadap informasi,” ujar Habil.
Habil juga menambahkan bahwa jurnalis dan media lokal sangat bergantung pada konektivitas internet yang stabil untuk menyebarkan berita dari wilayah kepulauan.
“Banyak kawan jurnalis di kabupaten kepulauan kesulitan mengirim berita karena jaringan lemah. Kondisi ini membuat liputan daerah tertinggal dari pemberitaan nasional. Pemerataan akses digital juga berarti membuka ruang bagi keberagaman suara daerah,” tambahnya.
Senada dengan itu, Ketua GP Ansor Maluku, Ridwan Nurdin, menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur TIK di wilayah 3T memerlukan perhatian serius dari pemerintah pusat, khususnya Kementerian Komdigi. Ia menilai, pemerintah daerah tidak memiliki kapasitas anggaran yang memadai untuk membangun infrastruktur TIK secara mandiri.
“Jangan menitipberatkan persoalan konektivitas ini ke daerah, karena kemampuan fiskal daerah terbatas. Pemerintah pusat harus turun tangan agar masyarakat di kepulauan Maluku bisa merasakan akses digital yang merata,” tegas Ridwan.
Meski banyak keluhan, suasana diskusi tetap penuh semangat dan optimisme. Komunitas lokal justru menawarkan gagasan kolaboratif, salah satunya penyelenggaraan Festival Literasi Digitalent 2026 di Maluku.
Acara tersebut diharapkan menjadi wadah bagi anak muda untuk berinovasi, memamerkan karya, dan memperluas gerakan literasi digital hingga ke pulau-pulau kecil.
“Kami ingin Kementerian Komdigi berkolaborasi dalam Festival Literasi Digitalent 2026. Malam ini membuktikan bahwa pemerintah mau mendengar anak muda Maluku,” ujar perwakilan Terakota Ambon.
Festival itu diharapkan menjadi ajang tahunan yang mempertemukan komunitas, kampus, dan pelaku UMKM digital, menampilkan inovasi lokal dari Maluku untuk Indonesia.
Dialog malam itu ditutup dengan tepuk tangan dan rasa terima kasih dari peserta kepada Menteri Meutya Hafid, yang dinilai sebagai sosok pejabat yang rendah hati dan mau turun langsung ke daerah.
“Kami sangat mengapresiasi Ibu Meutya. Jarang ada pejabat pusat yang mau duduk santai mendengar kami, bukan sekadar memberi pidato. Beliau datang dan benar-benar mendengar,” ujar Koordinator BEM Nusantara Maluku, Adam Rahantan.
Senada dengan itu, Ketua Badko HMI Maluku, Andi Sagama, juga menyampaikan apresiasi tinggi atas kehadiran Menteri Komdigi beserta jajarannya yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi langsung dengan anak muda Maluku.
“Kami berharap kementerian dan para menteri lain dapat mencontohi sikap Ibu Menteri Komdigi yang mau turun langsung berdialog dengan masyarakat. Pendekatan seperti ini membuat kami merasa didengar dan dilibatkan dalam pembangunan,” ujar Andi.
Menanggapi berbagai aspirasi tersebut, Menteri Komdigi Meutya Hafid mengucapkan terima kasih atas semangat komunitas Maluku yang terus aktif menggerakkan literasi digital. Ia menjelaskan bahwa kebijakan digital nasional kini berfokus pada tiga pilar utama.
Pertama, penguatan literasi digital untuk meningkatkan kesadaran dan kecakapan masyarakat. Kedua, pengembangan talenta digital agar generasi muda mampu berinovasi dan bersaing global.
Ketiga, pemerataan infrastruktur TIK, khususnya di wilayah 3T dan kepulauan timur Indonesia.
“Pemerintah berkomitmen agar transformasi digital tidak hanya dinikmati masyarakat di kota besar, tapi juga masyarakat di pulau-pulau kecil dan daerah 3T,” ujar Meutya.
Ia menegaskan, kolaborasi dengan komunitas lokal adalah kunci keberhasilan. Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri tanpa dukungan jejaring masyarakat yang memahami kondisi di lapangan.
“Komunitas seperti Relawan TIK, Mafindo, Paparisa Ambon Bergerak, Terakota Ambon, AJI Ambon, dan berbagai OKP/OKPI punya peran besar. Mereka adalah agen perubahan yang menjembatani kebijakan nasional dengan realita masyarakat,” ujarnya.
Pertemuan di Café Wailela itu menjadi lebih dari sekadar acara seremonial. Ia menjadi ruang perjumpaan dua arah antara pemerintah dan rakyat, antara kebijakan dan realitas, antara Jakarta dan Maluku.
Di ruang sederhana itu, suara dari timur menggema: permintaan akan keadilan digital, kesetaraan harga internet, dan peluang untuk berkarya di dunia digital.
“Kami tidak ingin hanya jadi konsumen internet, tapi juga pencipta konten, inovator, dan pelaku ekonomi digital,” ujar salah satu peserta.
Bagi pemerintah, pertemuan ini menjadi cermin berharga tentang bagaimana kebijakan digital nasional harus berpijak pada kebutuhan nyata masyarakat daerah.
“Kami tidak ingin pertemuan ini menjadi yang terakhir. Dialog seperti ini harus terus berlanjut, karena pembangunan digital hanya akan berhasil jika dilakukan bersama,” tutup Menteri Meutya dengan senyum hangat.
Malam di Café Wailela berakhir dengan penuh harapan. Anak-anak muda Maluku membuktikan bahwa perubahan digital tidak selalu lahir dari pusat kekuasaan, tetapi bisa tumbuh dari tepi, dari pulau-pulau kecil yang menyala dengan semangat sembari menginginkan harga internet yang adil, jaringan yang merata, dan ruang berekspresi yang luas. (JM-AL).