Penulis; Olifia Hukunala, S.Sos., M.Sos
Dosen Fisip Universitas Ibnu Chaldun Jakarta
Direktur Eksekutif Yayasan-Literasi Politik Perempuan dan Anak Melanesia
Hari ini perempuan Indonesia kembali merayakan hari Kartini, sebagai perempuan Indonesia yang punya pengaruh membela hak kaum perempuan untuk mengenyam pendidikan. Esensi perjuangan Kartini tentunya tidak terbatas pada bagaimana kaum perempuan mendapatkan akses yang sama dengan kaum laki-laki di bidang pendidikan semata, perjuangannya melawan subordinasi kaum perempuan punya dampak positif bagi pergerakan perempuan Indonesia di era modern. Perempuan di masa kini perempuan harus menerobos berbagai tembok dari kultur patriarkhi, Wajah kebijakan maskulin, partisipasi perempuan di ruang publik khususnya politik . Pertanyaannya apa implikasi perjuangan Kartini bagi kaum perempuan Indonesia diera modern?
Subordinasi Perempuan
Subordinasi merupakan kondisi unequal, selama ini perjungan perempuan diberbagai penjuru dunia menyuarakan adanya kesetaraan atau Equality. Terjadinya subordinasi dimulai dari lingkungan masyarakat, melalui budaya patriarki yang terlanjur mengkontruksi perempuan sebagai warga kelas dua. Praktik tersebut terbawa dalam sistem perekrutan perempuan di ruang publik dan politik khususnya melalui Afirmatif action. Beberapa pandangan berkaitan dengan sistem kuota tiga puluh persen, bahwa di Indonesia telah berlaku dalam rangka mendorong pencalonan perempuan sebagai bagian dari kelompok marginal di Indonesia, ruang lingkup kelompok marginal ini bisa diperluas dengan upaya menghadirkan identitas kelompok marginal lain bersama dengan kelompok perempuan di level individu sebagai bentuk perwakilan yang hadir disetiap partai politik sehingga meski identitasnya tetapi kepentinganya belum tentu.
Pendekatan berbasis individu semakin menjauhkan berasosiasinya antara identitas dan kepentingan. Affirmatif action tentunya baik sebagai langkah awal memberikan ruang bagi kaum perempuan, akan tetapi itu bukan solusi akhir, sebab jika demikian, kita justru terjebak dalam subordinasi perempuan itu sendiri, sebab hal paling urgen lagi adalah pentingnya memahami bahwa perempuan bukan sekedar komodity untuk memenuhi syarat administratif yang terkesan prosedural, Memahami Afirmatif action tak sebatas angka tetapi yang paling penting adalah keterlibatan perempuam di parlemen membawa value bagi setiap kebijakan politik yang dilahirkan.
Wasbi (1969) politik adalah authoritative of value. Bagaimana distribusi nilai dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat untuk masyarakat itu sendiri. Bahwa kehadiran perempuan dapat memberikan efek dalam setiap kebijakan. Pandangan yangg cukup optimis datang dari Kaiser, (2007) tentang kehadiran perempuan merubah wajah kebijakan, selanjutnya mengemukakan bahwa legislasi suatu kebijakan tidaklah menjamin implementasi. Dengan menggunakan kebijakan dukungan bagi anak-anak sebagai studi kasus utama. Kaiser mencatat bahwa hanya jika perempuan memiliki basis politik yang kuat dan dapat mendorong akuntabilitas barulah kebijakan dapat mencapai tingkat pelaksanaan yang memadai. Disini secara gamblang menjelaskan bahwa, perempuan yang memiliki basis secara sosial politik, berbasis pada gerakan sosial, maupun beraviliasi ke partai politik dan dan berpatisipasi aktif dalam politik melalui parlemen, mewarnai produk legislasi mampu membawa perubahan pada output kebijakan negara.
Beberapa pandangan yang melihat kemampuan menghadirkan kepentingan bersama kerap kali menjadi pertanyaan. Karena sesungguhnya oligarki partai politik kerap kali memiliki motif yang berbeda. Motif itu adalah memanfaatkannya sebagai strategi pemenangan semata untuk meraih simpati pemilih maupun memanafaatkan popularitas perempuan sebagai target meraih suara, seperti diungkapkan oleh Caul (2001, Chowdhury(2002) Meier (2004). Tak bisa dipungkiri isu perempuan selalu menarik dicakapkan. Sehingga Memahami Afirmatif action tak sebatas angka tetapi yang paling penting adalah keterlibatan perempuam di parlemen membawa value bagi setiap kebijakan politik yang dilahirkan. Pertanyaan selanjutnya adalah, value seperti apa yang harus dilahirkan dari kebijakan politik ?
Pentingnya perempuan memahami apa kepentingannya, kepentingan masyarakatnya, sehingga output yang dihasilkan menyentuh akar persoalan dimasyarakat dan mereka yang diwakilinya, untuk memahami mengapa perempuan harus hadir di parlemen, bagaimana perempuan merubah wajah kebijakan yang maskulin. Perempuan harus cerdas dalam berpolitik, dan memahami kehadirannya tak sekedar komoditi politik berdasarkan standar matematis demi kepentingan pemenuhan kuota, tetapi kehadirannya membawa dampak positif bagi sesamanya dan masyarakat luas. Dengan demikian cara Kartini modern melawan subordinasi adalah melibatkan dirinya di politik dan keberpihakannya terhadap persoalan sosial semisal masalah perempuan dan anak, pendidikan, kesehatan dll, mampu mengubah wajah kebijakan negara pada berbagai level.