Kekerasan seksual adalah salah satu dari sekelumit persoalan yang menimpa perempuan baik diruang publik maupun ruang privat. Kekerasan terjadi karena, adanya dominasi relasi kuasa bahwa, laki-laki memiliki kekuasaan dan cenderung menguasai tubuh perempuan yang bisa dilacak dari sejarah dan pemikiran Foulcault dan bukan dalam Psyche (seperti Lacan) dan dalam bahasa (Derrida) Arivia (2003).
Feminis radikal Millet (1970) dalam bukunya tentang Sexual Politics bahwa idelogi patriarkhal melebih-lebihkan perbedaan secara biologis antara laki-laki dan perempuan, memastikan bahwa laki-laki akan selalu dominan dan perempuan akan selalu mendapatkan peranan yang lebih rendah. Ideologi ini sangat berkuasa sehingga sekilas terlihat perempuan menerima penindasan yang dialaminya melalui intitusi-institusi seperti diakademis, gereja, keluarga yang menjustifikasi dan menguatkan subordinasi terhadap perempuan sehingga membuat perempuan secara internal merasa inverior tehadap laki-laki.
Preposisi Millet mengonfirmasi dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui institusi-institusi non negara yang memiliki peran penting dalam relasi masyarakat, turut membentuk pola berpikir manusia laki-laki dan perempuan. Salah satu bentuk dominasi laki-laki yang menindas perempuan yang paling berbahaya adalah menguasai tubuh perempuan, melalui kekerasan seksual menyebabkan ketidakberdayaan secara fisik dan psikologi.
Di Indonesia, kasus kekerasan seksual sangat krusial dan kompleks. Menurut data Kementerian PPPA, Kekerasan fisik dan/atau seksual terhadap perempuan pada 2021 sebesar 26,1%. Secara detail, sebanyak 13,8% perempuan usia 15-64 tahun selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik pada 2021. Angkanya pun turun jika dibandingkan pada 2016 yang sebesar 18,1%. Sama halnya dengan kekerasan fisik, prevalensi perempuan yang mengalami kekerasan seksual pun menunjukkan penurunan. Pada 2016, proporsinya mencapai 24,2%, angkanya turun menjadi 18,7% pada 2021. Jika dilihat menurut daerah tempat tinggal, kekerasan fisik dan/atau seksual cenderung lebih banyak dialami oleh perempuan yang tinggal di daerah perkotaan, yaitu 27,8% dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di daerah perdesaan yang sebesar 23,9%.
Angka tersebut turun dari tahun 2016, yaitu 36,3% di perkotaan dan 29,8% di perdesaan. Meski demikian fakta bahwa kekerasan terhadap perempuan di daerah perkotaan yang diketahui meningkat karena perempuan di kota lebih mudah mengakses berbagai media untuk menyuarakan melaporkan peristiwa yang dialami, semisal media sosial yang saat ini trend digunakan sebagai wadah mencari keadilan. Sedangkan perempuan di daerah memiliki persoalan yang berbeda diantaranya ketidakberdayaan perempuan dalam hal melaporkan peristiwa yang menimpa dirinya, disebabkan oleh pertama, konstruksi masyarakat yang menganggap kekerasan seksual semisal pemerkosaan sebagai hal tabu atau Aib, dinormalisasikan menyebabkan perempuan tidak berdaya. Kedua, minimnya akses dan literasi untuk memperjuangkan keadilan, dan ketiga aparat penegak hukum yang kerap abai dalam penanganan kasus terhadap korban kekerasan seksual.
Pembonsaian Perempuan
Pembonsaian berasal dari kata bonsai, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bonsai diartikan sebagai tumbuhan kerdil yang diperoleh dengan menanamnya dalam pot dengan cara tertentu (pot dangkal, pemangkasan akar, cabang, pemupukan terkendali dan sebagaimanya). Ibarat pohon bonsai realitas perempuan dalam kultur patriarki pun mengalami pembonsaian. Pertanyaannya adalah kapan pembonsian perempuan itu terjadi? Pertama, realitas sosial perempuan, hidup dan bertumbuh dalam struktur sosial dengan kultur patriarkhi, sengaja mengkultuskan perempuan hanya berkutat pada urusan dapur, ranjang dan urusan kodrat yang tidak dapat digantikan oleh laki-laki adalah salah satu wujud pembonsaian atau pengkerdilan perempuan.
Akses yang timpang ini secara eksplisit memperdaya perempuan sebagai subjek yang bebas memiliki hak-hak yang sama dengan kaum laki-laki. Kedua, praktik pembonsaian terhadap perempuan juga terlihat dari ketidakberpihakan negara melalui regulasi yang tidak mengakomodir kepentingan perempuan dan melindungi perempuan korban kekerasan seksual. Salah satu kasus di Indonesia adalah peliknya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang tak kunjung disahkan adalah bentuk pembonsaian perempuan oleh negara yang berpihak pada perempuan dan produk politik lainnya seperti ketentuan UU No 7 tahun 2017 yang mengatur tentang affirmatif action tentang pemelihan umum yang hanya sekedar memenuhi prosedur demokrasi di partai politik namun jauh pangkal dari substansinya misalnya keterwakilan perempuan di parlemen .
Literasi Untuk Semua
Literasi adalah kemampuan, berbicara, berpikir kritis, berani speak-up. Di ungkapan oleh Kern R (2000) dalam bukunya Literacy and the Lenguage Teaching, Oxford Univesrity Press. Literacy is the of socially-, and historycally., and culturally- situated practise of creating and
Interpreting meaning through text. It entails at least a tacit awareness of the relationship between Textual conventions and their context of use and, ideally, the abilty to reflect critically on those relationship. Because it is purpose-sensitive, literacy is dynamic- not static-and variable across and within sicourse communities and cultures. It drwas on a wide range of cognitive abilities, on knowledge of written and spoken lenguage of genrnes, and on culture knowledge.
Dengan kata lain, literasi adalah adalah praktik-praktik sosial, historis dan kultural dalam mencipatakan dan intrepretasi makna melalui teks. Literasi memerlukan kepekaan yang tak terucap tentang hubungan antara konvensi tekstual dan penggunaannya serta kemampuan untuk berefleksi secara kritis.
Karena peka dengan maksud/tujuan literasi itu bersifat dinamis-tidak statis dan dapat bervariasi diantara komunitas dan kultur diskursus/ wacana. Literasi memerlukan serangkaian kemampuan kognitif, pengetahuan bahsa tulis dan tulisan pengetahuan tentang genre dan pengetahuan kultural.
Proposisi Kern diatas, menunjukan bahwa Literasi adalah bagian dari proses dialektika, untuk mencakapkan persoalan mendasar yang berkaitan dengan realitas sosial, historis dan kultural tentang eksistensi perempuan. Dalam realitas perempuan dan permasalahannya yang kompleks, tentunya tidak hanya untuk perempuan saja, tetapi juga untuk laki-laki bagimana menghormati perempuan sebagai mahluk yang memiliki hak asasi manusia yang sama dan setara dengan laki-laki.
Selamat merayakan international woman’s day, saatnya perempuan berbicara!
Penulis: Olifia Hukunala, S. Sos., M. Sos
Direktur Literasi Politik Perempuan Dan Anak Melanesia (LPPAMelanesia)