Surat Terbuka.
Kepada Yth,
1. Kelembagaan Pemerintah Daerah
2. Kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Kab MBD
3. Kelembagaan KPUD Kab MBD
4. Badan Pengawas Pemilu Kab MBD
5. Kelembagaan Gereja Protestan Maluku.
6. Warga masyarakat yang juga adalah anak-anak adat MBD.
Shalom.
Melihat polemik yang saat ini terjadi di Kabupaten Maluku Barat Daya (Kab MBD), tentang kekisruhan akibat penggunaan kata semboyan/ salam/ logo/ simbol/ bendera KALWEDO yang bagi saya adalah jati diri kita masyarakat MBD, di gunakan sebagai jargon politik salah satu Calon kepala daerah dalam kontestasi pilkada MBD, maka penggunaan kata ini secara tidak atau di sengajakan tengah membawa masyarakat kita kepada keadaan membingunggkan atau yang saya sebut sebagai fase pembodohan, pengkotakan yang berujung pada rasa untuk tidak mencintai semboyan pemersatu kita yaitu Kalwedo.
Sejalan dengan pikiran saya di atas, penggunaan salam Kalwedo oleh paslon tertentu ini, telah menempatkan salam ini pada ranah like & dislike yang dapat diilustrasikan, seperti merobek sepenggal demi sepenggal pakaian kebesaran rakyat di tiga gugusan kepulauan ini. Bisa kita lihat bahwa penggunaan semboyan kebesaran orang MBD ini sebagai jargon politik secara sengaja ataupun tidak, telah membuat masyarakat di tiga gugusan kepulauan ini menjadi terbatas dan tidak leluasa lagi menggunakan salam kesatuan MBD itu karena akan menempatkan dirinya sebagai bagian atau pendukung kelompok politik yang sedang menggunakan istilah Kalwedo dalam pilkada MBD tahun 2020 ini, padahal hal itu tidak diinginkannya sama sekali. Dengan kata lain, akibat penggunaan kata Kalwedo oleh kelompok politik tertentu, masyarakat menjadi terbatas menggunakan salam kalwedo untuk menyapa saudaranya dari gugusan pulau berbeda di MBD atau bahkan untuk menyapa saudara sepersekutuan-nya dalam jemaat Gereja Protestan Maluku, sebagaimana yang biasa mereka lakukan, karena dengan menyebut SALAM kalwedo, maka di luar kehendak bebas mereka, mereka diidentifikasi sebagai bagian atau pendukung kelompok politik yang akan menjadi peserta pilkada MBD thn 2020 ini.
Ini merupakan kerugian kultural masyarakat karena situasi ini mengecilkan diri masyarakat di luar kehendaknya. Dari identitas kultural dalam skala Maluku Barat Daya, dikecilkan menjadi identitas kultural dalam skala kelompok peserta pilkada MBD tahun 2020 saja.
Kita sebagai anak-anak penerus warisan budaya leluhur, tentu tdk bisa membiarkan hal ini terjadi. Tidak mungkin memaksa masyarakat mengucapkan salam kalwedo tanpa mengaitkan mereka dengan kelompok politik peserta pilkada 2020. Sewajarnya jika masyarakat MBD di hargai dan tidak dikecilkan dengan meminta kelompok politik tertentu tidak menggunakan istilah Kalwedo sebagai penanda identitas kelompok politik mereka yg akan nenjadi peserta pilkada MBD thn 2020.
Lewat perda No. 8 tahun 2011 secara gamblang menyebutkan dan menegaskas bahwa di dalam BAB II pasal 2 bahwa: Nama Lambang daerah adalah Kalwedo, di lanjutkan pula dalam Bab III pasal 3 bahwa: Lambang Daerah Kalwedo berkedudukan sebagai tanda identitas daerah dan pasal 4 yaitu: Lambang Daerah Kalwedo berfungsi sebagai pengikat kesatuan sosial budaya masyarakat Maluku Barat Daya dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bab II pasal 2 dan Bab III pasal 3 dan 4 sangat jelas menyatakan bahwa Lambang Daerah ini di pakai sebagai identitas daerah dan pengikat kesatuan sosial budaya kita seluruh rakyat di Kab MBD, saya memahami dengan sungguh bahwa pada pasal-pasal 2, 3 dan 4 memang tidak membatasi peruntukan kata Kalwedo ini sebagai jargon politik, namun secara eksplisit ada pesan moral yang di sampaikan kepada kita agar nama Lambang yang adalah indentitas daerah ini tidak di pakai untuk melebeli orang per orang, pasangan calon, ataupun tim sukses tertentu.
Penggunaan semboyan yang adalah Lambang Daerah untuk menunjukan pengkotakan dukungan dalam event pemilukada terasa sangat mengkerdilkan, membatasi, melecehkan fungsi dari kata sakral yang harusnya menyatukan kita semua rakyat bumi MBD.
Perda No. 8 tahun 2011 juga, dalam Bab VII pasal 26 ayat 1, 2, 3 tentang larangan dan Bab VIII pasal 27 ayat 1, 2, 3, 4, 5, tentang ketentuan pidana, namun oleh paslon yang menggunakan salam di maksud seakan hanya ada pada ruang yang biasa dan seakan tidak di perdulikan, saya merasa ini adalah tindakan pelecehan secara sengaja dari produk perda di yang telah ada, untuk membentengi penggunaannya sebagai jargon politik.
Bab II pasal 2 menyatakan bahwa: Nama Lambang Daerah adalah Kalwedo, saya yakin bahwa Kalwedo yang di maksudkan ini, pengertiannya sama dengan Kalwedo yang di maksudkan dalam Salam atau semboyan yang sering kita kumandangkan dalam setiap rutinitas penggunaan tata bahasa kita, juga pengertiannya sama dengan Salam/semboyan/dan atau lambang Kalwedo yang di gandengkan dengan salam/semboyan dan atau lambang Kidabela yang pernah di pakai saat rakyat dan wilayah ini masih bersama kabupaten MTB tempo lalu atau KKT saat ini. Sekali lagi saya tekankan bukan untuk melabeli orang per orang, paslon dan tim sukses dalam pilkada yang sedang dilaksanakan.
Di dalam dunia kerohanian kita,
Salam ini lalu dalam pengertiannya di sejajarkan dengan kata shalom yang sering di gunakan oleh umat Kristen secara umum, hal ini sungguh baik dan lebih menambah kebesaran budaya kita orang MBD dalam dunia kita bergereja pada Gereja Protestan Maluku (GPM), namun apa yang terjadi bila salam/sapaan dan atau lambang daerah yang di gunakan ini di gunakan sebagai jargon politik ? Jawabanya adalah, pastinya warga gereja akan menghindarkan kata Kalwedo ini dalam tata bahasa teknis peribadatannya. Disini saya melihat ada kemunduran yang sengaja atau tidak di sengajakan agar penggunaan kata Kalwedo ini di singkirkan sebagai salam pengganti kata Shalom dalam rutinitas peribadatan kita warga GPM di kabupaten MBD.
Bila hal ini tidak di lihat dan di cermati bersama, dalam kesadaran kita sebagai warga masyarakat dan warga GPM di Kab MBD, maka hal ini bisa menyebabkan kerancuan yang akan sangat berdampak pada kehidupan bermasyarakat dan bergereja.
Berdasar pada uraian di atas lewat surat terbuka ini saya menyarankan agar:
1. Kelembagaan Pemerintah Daerah
2. Kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah-Kab MBD
3. Kelembagaan KPUD-Kab MBD
4. Badan Pengawas Pemilu Kab MBD
5. Kelembagaan Gereja Protestan Maluku.
6. Warga masyarakat yang juga adalah anak-anak adat MBD,
Untuk bersama-sama melihat peristiwa ini sebagai renungan bersama dan menyikapi kepantasaan penggunaan kata Kalwedo yang adalah salam/semboyan dan atau Lambang Daerah yang di cintai bersama, sebagai jargon politik untuk melabeli paslon, tim sukses dan dukungan politiknya dalam Pilkada serentak di Kab MBD.
Sekian dan terima kasih.
Ita Pari Eha