JURNALMALUKU-Leonard Manuputty, putra berdarah Ouw yang kini berdomisili di Ambon, meluncurkan karyanya berjudul Warisan Tanah, Warisan Iman: Sempe Ouw dalam Lintasan Sejarah Gereja PNIEL. Buku ini merupakan refleksi historis, kultural, dan sosial atas perjalanan panjang Gereja PNIEL Jemaat GPM Negeri Ouw yang merayakan usia 150 tahun, sekaligus memperingati 209 tahun masuknya Injil di Negeri Ouw, Pulau Saparua.
Buku ini ditulis sebagai bentuk syukur dan perenungan atas hubungan yang kuat antara iman, budaya, dan tanah leluhur masyarakat Ouw sebuah negeri yang dikenal sebagai pengrajin tanah liat. Melalui karya ini, Leonard berupaya menafsirkan ulang warisan budaya tersebut dalam konteks kekinian.
“Sempe saya ambil bukan karena paling istimewa, tetapi karena lebih dikenal masyarakat sebagai wadah tempat menaruh papeda. Pilihan ini bukan untuk mengesampingkan karya gerabah lainnya seperti Taloi, Tajela, Balanga, atau Kendi, tetapi sebagai simbol keterikatan budaya yang hidup dalam keseharian masyarakat Negeri Ouw,” ujar Leonard Manuputty dalam pernyataannya.
Ia menambahkan, bahwa Sempe menjadi titik masuk untuk memahami nilai-nilai sosial dan spiritual masyarakat Ouw yang berpijak pada tanah. “Tanah bagi orang Ouw bukan sekadar bahan baku, melainkan bagian dari kehidupan yang sarat makna. Dari tanah mereka membentuk benda, dan dari benda itu mereka meneguhkan iman,” ungkapnya.
Penulisan buku ini dilakukan melalui kajian literatur dan studi pustaka yang menelusuri berbagai sumber, mulai dari jurnal ilmiah, buku sejarah, artikel media online, hingga dokumentasi digital di platform seperti YouTube. Meski tanpa riset lapangan, pendekatan ini berhasil menyingkap keterhubungan antara tanah, budaya, dan identitas masyarakat Ouw yang telah bertahan lintas generasi.
Leonard menjelaskan, buku ini membahas empat dimensi penting:
1. Sosial – Gerabah seperti Sempe, Balanga, dan Taloi berperan sebagai perekat sosial dan sarana pendidikan nilai.
2. Ekonomi – Kerajinan tanah liat menjadi sumber penghidupan dan kekuatan ekonomi keluarga.
3. Kultural – Gerabah mencerminkan identitas dan estetika yang mampu bertahan di tengah arus modernisasi.
4. Politik dan Diplomasi Budaya – Karya tanah liat menjadi simbol diplomasi budaya Maluku di tingkat nasional bahkan internasional.
Sebagai lulusan Magister Administrasi Publik Universitas Pattimura, Leonard melihat karya ini bukan sekadar catatan budaya, tetapi juga refleksi tentang ketahanan sosial. Ia menegaskan bahwa pelestarian gerabah Ouw adalah bentuk keteguhan iman dan penghargaan terhadap sejarah.
Leonard yang lahir di Surabaya pada 4 Agustus 2000 dan besar di Jakarta ini, tumbuh dalam lingkungan masyarakat Ouw melalui keluarga dan komunitas Lisaboli Kakelisa Jakarta. Ikatan gandong antara Negeri Ouw dan Seith juga memperkuat kesadarannya tentang pentingnya menjaga jati diri meski hidup di rantau.
“Kedekatan antara Ouw dan Seith menjadi pengingat bahwa jati diri tidak pernah hilang walau kita jauh dari tanah asal. Menulis buku ini adalah cara saya pulang ke akar,” tuturnya.
Melalui Warisan Tanah, Warisan Iman, Leonard mengajak generasi muda Maluku untuk tidak melupakan warisan budaya leluhur. Bagi Leonard, setiap gerabah yang diciptakan masyarakat Ouw bukan hanya benda, tetapi kisah tentang iman, kerja keras, dan harapan yang terus menyala dari generasi ke generasi. (JM-AL).


