JURNALMALUKU—Ketua Gerakan Mahasiswa Maluku Barat Daya (GEMA-MBD), Krisandi Petrik Laurika, secara tegas mendesak Pangdam XVI/Pattimura untuk mengambil langkah tegas terhadap oknum anggota TNI Angkatan Darat yang diduga melakukan intimidasi dan kekerasan terhadap warga sipil serta insan pers di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya.
Desakan tersebut disampaikan menyusul insiden serius yang terjadi pada Jumat dini hari, 26 Desember 2025, sekitar pukul 01.00 WIT, di Desa Leklor, saat situasi wilayah masih dalam kondisi kondusif pasca perayaan Natal.
Dugaan Kekerasan terhadap Warga dan Insan Pers
Peristiwa ini menyeret seorang anggota TNI AD berinisial Agus Sorkey (AS), yang diketahui bertugas di Koramil Pulau-Pulau Terselatan. Korban dalam insiden tersebut adalah Pimpinan Redaksi Jurnal Maluku, yang mengaku mengalami kekerasan fisik berupa pencekikan leher, disertai makian kasar yang dilontarkan oleh AS.
Korban menyebut tindakan tersebut terjadi saat dirinya menegur AS terkait persoalan ketertiban dan keamanan masyarakat (kamtibmas). Teguran yang bersifat sosial itu justru berujung pada tindakan represif yang dinilai tidak mencerminkan sikap profesional aparat teritorial.
Ironisnya, AS disebut secara terbuka menyatakan tidak takut diberhentikan dari institusi TNI AD, sebuah pernyataan yang semakin memperkuat dugaan arogansi dan penyalahgunaan kewenangan.
Di Luar Wilayah Tugas dan Kewenangan
AS mengaku sebagai Babinsa Desa Wonreli, sementara lokasi kejadian berada di Desa Leklor, yang bukan merupakan wilayah tugas dan pembinaannya. Fakta ini memunculkan pertanyaan serius terkait pelanggaran batas kewenangan aparat teritorial.
Lebih jauh, AS juga diduga menyatakan bahwa dirinya tidak perlu melaporkan persoalan kamtibmas ke Polsek, pernyataan yang bertentangan langsung dengan prinsip supremasi sipil dan sistem hukum nasional, di mana urusan kamtibmas merupakan domain utama Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Ancaman Libatkan Kesatuan Militer
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa AS mendatangi sejumlah pemuda Desa Leklor dalam kondisi diduga dipengaruhi minuman keras, untuk meminta penjelasan atas teguran pemuda desa terhadap seorang PNS Puskesmas Wonreli bernama Yeri Samangun, yang sebelumnya membunyikan pengeras suara secara berlebihan dan mengganggu ketenangan lingkungan.
Alih-alih meredam situasi, AS justru disebut mengancam akan melibatkan BKO TNI yang berada di Desa Lebelau, Kecamatan Kisar Utara, guna “menangani” pemuda Desa Leklor. Ancaman tersebut dinilai sebagai bentuk intimidasi serius dengan membawa-bawa institusi dan kekuatan militer dalam konflik sosial warga sipil.
Ketua GEMA-MBD, Krisandi Petrik Laurika, menilai tindakan oknum TNI AD tersebut mencederai marwah institusi TNI dan berpotensi merusak kepercayaan publik.
“Kami mendesak Pangdam XVI/Pattimura segera mengevaluasi oknum tersebut. Ini bukan sekadar pelanggaran disiplin, tetapi sudah menyentuh ranah pelanggaran hukum, intimidasi sipil, dan ancaman terhadap kebebasan pers,” tegas Krisandi.
Ia menegaskan bahwa tindakan intimidatif dengan memanfaatkan atribut militer bertentangan dengan:
UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang menegaskan profesionalisme, kepatuhan pada hukum, dan larangan bertindak di luar kewenangan;
Pasal 335 KUHP, terkait perbuatan tidak menyenangkan dan ancaman;
UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menjamin kemerdekaan pers dan melarang intimidasi terhadap jurnalis.
GEMA-MBD Mendesak:
1. Tindakan tegas dan transparan dari Pangdam XVI/Pattimura terhadap oknum TNI AD yang terlibat.
2. Evaluasi dan pembinaan oleh Danramil Pulau-Pulau Terselatan dan Dandim setempat.
3. Klarifikasi terbuka institusi TNI kepada publik guna menjaga kepercayaan masyarakat.
4. Penegakan hukum tanpa pandang bulu demi menjunjung supremasi hukum dan perlindungan warga sipil.
Kasus ini dinilai menjadi ujian serius bagi komitmen negara dalam memastikan aparat bersenjata tidak menyalahgunakan kewenangan, serta tetap berada dalam koridor hukum dan demokrasi. (JM–AL)

