JURNALMALUKU – Polemik proyek strategis nasional di Pulau Selaru memasuki babak baru. Seorang pengacara muda asal Desa Adaut, Yohanis Laritmas, S.H., M.H., secara tegas menyatakan bahwa dokumen pelepasan lahan ulayat seluas 700 hektare yang mengatasnamakan masyarakat Desa Adaut cacat hukum dan tidak sah secara substansial.
Dokumen bertajuk “Pernyataan Bersama dan Pemberian Kuasa” itu, menurut Yohanis, dibuat tanpa melibatkan seluruh pemilik hak tanah petuanan, sehingga melanggar prinsip dasar hukum adat Tanimbar yang bersifat kolektif-komunal.
“Tanah adat kami bukan milik perorangan atau kelompok kecil yang bisa seenaknya memberi kuasa. Setiap keputusan soal ulayat wajib melalui musyawarah dan persetujuan bulat seluruh mata rumah (soa) pemilik hak. Proses itu jelas tidak dilakukan,” tegas Yohanis kepada media ini di Ambon, Kamis (15/5/2025).
Yohanis juga menilai proses pelepasan lahan tersebut melabrak prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), sebuah standar internasional yang mengharuskan keterbukaan informasi dan persetujuan bebas masyarakat adat sebelum mengambil keputusan.
“Sudahkah masyarakat benar-benar diberi informasi yang jujur, lengkap, dan mudah dipahami? Ataukah hanya segelintir orang yang diajak bicara lalu mengklaim mewakili semua,”tanya dia.
Tak kalah mencemaskan, Pengacara ini mengungkap, adanya celah korupsi dan penyimpangan dalam skema kompensasi yang ditawarkan. Dokumen itu hanya menyebut ganti rugi “sesuai kesepakatan” tanpa rincian nilai, mekanisme, maupun siapa pihak yang sah menerima.
“Ini sangat rawan dimanipulasi. Rakyat hanya akan jadi penonton saat hak mereka diperjualbelikan,” kritik Yohanis.
Kepada pemerintah desa, BPD, dan lembaga adat, Yohanis mengingatkan agar tidak terjebak pada euforia investasi tanpa kehati-hatian hukum. Dirinya menyebut pelepasan lahan sebesar 700 hektare bukan perkara remeh yang bisa diputuskan secara sepihak.
“Jangan terburu-buru atas nama investasi. Ini soal masa depan masyarakat adat. Sekali dilepas tanpa kejelasan, dampaknya akan permanen,” tandasnya.
Dirinya menyerukan, penghentian seluruh proses pelepasan lahan hingga dilakukan kajian ulang yang melibatkan seluruh pemilik hak ulayat secara sah dan terbuka.
“Tanah adat adalah identitas dan sumber hidup. Bukan komoditas dagang bagi elite sesaat. Semua proses ini harus dihentikan sampai seluruh pemilik hak benar-benar dilibatkan secara adil,” pungkasnya.(JM.ES).