JURNALMALUKU-Proyek pembangunan talud pengaman pantai Desa Tepa, Kecamatan Pulau-Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya (MBD), yang dikerjakan oleh CV. Putra Laitutun, kini tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya, proyek bernilai miliaran rupiah ini dilaporkan mengalami kerusakan parah setelah selesai dikerjakan pada tahun anggaran 2020. Banyak pihak mempertanyakan kualitas pekerjaan, profesionalisme penyedia jasa, serta lemahnya pengawasan oleh pemerintah dan DPRD MBD.
Beberapa media lokal telah mengangkat isu ini sejak akhir 2020. Mereka melaporkan adanya indikasi kuat gagalnya pengerjaan proyek dengan nomor kontrak 601.1/01/SPK/BPBD-MBD/DAU/V/2020, yang menelan pembiayaan sebesar Rp2,8 miliar dengan jangka waktu 150 hari kalender tersebut.
Pekerjaan tersebut dinilai asal-asalan dan menggunakan material di bawah standar. Dokumentasi lapangan menunjukkan bahwa bagian dari struktur talud telah ambruk, bahkan puing-puing talud tersebut saat ini sudah hampir hilang.
Namun yang mengejutkan, berdasarkan data terbaru dari portal LPSE Kabupaten MBD, CV. Putra Laitutun kembali memenangkan proyek pengamanan pantai untuk tahun anggaran 2025. Salah satunya adalah proyek “Rekonstruksi Tanggul Pengaman Pantai Desa Kaiwatu” dengan nilai HPS mencapai Rp2.997.826.000,00 dan dimenangkan dengan harga penawaran sebesar Rp2.596.800.000,00.

Fenomena ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mendalam: Apakah panitia tender mengabaikan rekam jejak buruk penyedia jasa tersebut? Apakah sistem evaluasi teknis dan administrasi sudah berjalan sesuai aturan? Apakah ada indikasi konspirasi antara penyedia dan panitia tender? Mengapa CV. Putra Laitutun tidak masuk dalam daftar hitam penyedia?
Secara hukum, kegagalan pelaksanaan proyek tahun 2020 dapat dikategorikan sebagai wanprestasi karena tidak memenuhi isi perjanjian kontrak. Jika terbukti ada unsur kelalaian yang disengaja atau mengakibatkan kerugian negara, maka kasus ini bisa menjurus pada pelanggaran pidana, termasuk pelanggaran terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dr. Jefri Leatemia, M.AP., seorang pakar pengadaan barang dan jasa, menyatakan, “Jika perusahaan dengan rekam jejak buruk masih bisa lolos dan menang tender, itu bukan sekadar kelalaian. Ada indikasi kuat pelanggaran administratif bahkan pidana. Panitia tender bisa dimintai pertanggungjawaban jika terbukti bermain mata atau lalai.”
Ia menegaskan bahwa sesuai Perpres No. 12 Tahun 2021, penyedia yang wanprestasi wajib dicatat dalam daftar hitam. “Jika hal ini diabaikan, maka Inspektorat Daerah, BPK, hingga KPK dapat masuk dan melakukan investigasi. Ini masalah serius,” ujar Dr. Jefri.
Sementara itu, Winnetou Akse, anggota DPRD Kabupaten Maluku Barat Daya dari Dapil 3 Kepulauan Babar-Damer, menyampaikan keprihatinan atas kondisi ini.
“Sebagai wakil rakyat, saya sangat prihatin. Kami sudah menerima banyak laporan dari warga soal buruknya kualitas bangunan talud tersebut. Seharusnya pihak pelaksana tidak lagi diberikan kepercayaan, apalagi untuk proyek yang sama di lokasi yang sama. Ini bukti bahwa sistem pengawasan dan evaluasi kinerja penyedia sangat lemah.”

Winnetou mendesak Pemda untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses pengadaan di Kabupaten MBD. Ia juga menyerukan agar DPRD secara kelembagaan memberikan perhatian serius dengan menginvestigasi proyek-proyek yang bermasalah di Kabupaten MBD, khususnya pada wilayah Kepulauan Babar-Damer.
“Kalau ada main mata antara panitia dan kontraktor, maka ini sudah masuk ranah hukum. Saya pribadi mendukung langkah hukum, termasuk melibatkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Kejaksaan, bahkan KPK jika perlu. Jangan sampai masyarakat terus dirugikan dan uang negara terus menguap,” pungkasnya.
Winnetou yang akrab disapa Koko Akse menginginkan agar adanya perhatian serius dari Inspektorat Daerah MBD, BPKP melakukan pemeriksaan atas kemungkinan kerugian negara dan audit investigatif atas seluruh proyek CV. Putra Laitutun.
Kejaksaan Dalam Negeri Kabupaten MBD, Kejaksaan Tinggi Maluku, Kejaksaan Agung, hingga KPK diharapkan mengambil langkah tegas jika ditemukan indikasi korupsi dan konspirasi.
Akse juga mengajak masyarakat sipil, aktivis antikorupsi, serta jurnalis independen untuk terus mengawasi dan mendesak transparansi dalam pengadaan barang dan jasa.
Kasus ini bukan hanya tentang kualitas bangunan, tetapi menyangkut integritas sistem pengadaan, keamanan publik, dan pengelolaan keuangan negara. Jika tidak ditindak serius, dikhawatirkan praktik seperti ini akan terus terjadi dan merugikan masyarakat luas, terutama di wilayah-wilayah terisolir seperti Kepulauan Babar dan Damer.
Apakah pihak berwenang akan tetap bungkam?
Ataukah ini menjadi momentum bersih-bersih sektor konstruksi di kabupaten bertajuk Kalwedo, tutupnya. (JM-01)