Catatan penutup November
Sebuah Foto dari 5 tahun yang lampau tiba-tiba muncul dalam kenangan Facebook saya hari ini, secara sadar telah menjadi alasan utama sekaligus pembakar semangat untuk menulis senarai paragraf keprihatinan nan sederhana ini.
Setiap kali saya lewat didepan gedung Pemuda yang menyatu dengan gedung Persatuan Wartawan Indonesia -Maluku (PWI Maluku), selalu saja muncul setangkup kenangan. Wajarlah begitu mengingat banyaknya hari-hari hidup ini selalu bersentuhan diwilayah Jalan Said Perintah kota Ambon itu, terutama pada beberapa tempat dikawasan pusat kota Ambon itu, teristimewa pada gedung 4 lantai yang kini tak berpenghuni lagi.
Beberapa hari lalu ramai ucapan selamat atas terpilihnya Ketua dan sekretaris KNPI Maluku yang baru sebagai produk konstitusional organisasi Hasil musda KNPI MALUKU 2021.
Saya bahagia, sebab KNPI MALUKU punya nahkoda meskipun juga hati ini diliputi tanya karena saya pun tak tahu lagi ini nahkoda untuk bahtera biru yang mana?. fakta dualisme dan isme-isme yang memecah belah soliditas wadah berhimpun kepemudaan marak berlangsung 1 dekade terakhir ini.
“Isme-isme” destruktif semacam ini bergelombang lebih dahsyat dari ganas ombak disamudera, sebab mabuk laut penumpang akan reda sewaktu tiba dipelabuhan / manakala lautan teduh / obat anti mabuk bekerja, dan berpengecualian bagi penumpang yang terbiasa berlayar diderunya gelombang.
Lain hal dengan gelombang “isme-isme” destruktif yang menghantam bahtera KNPI, dampaknya makin parah setelah 1 dekade khususnya di Maluku sebab pergerakan pemuda menjadi kaku dalam dialektikanya hingga Gedung Pemuda karya kontraktor legendaris Maluku Go Kim Peng dengan CV empat Lima-nya tahun 1975 itu sekarang menjadi tak berpenghuni akibat segel-menyegel.
(M.Noeh Hatumena, Sembilan surat kabar di Ambon dalam kenangan, Bersatu Manggurebe Maju, 2017).
Seingat saya dualisme itu berawal pasca musda KNPI MALUKU tahun 2009 di hotel Wijaya II Mardika Ambon, saat itu saya peserta penuh 1 hak voting mewakili Fokusmaker, hasil musda saat itu mendaulatkan M.Asmin Matdoan sebagai ketua dan Leonard Tayl (Alm) sebagai sekretaris, lalu diikuti dengan lahirnya kepengurusan lain yakni Zaharudin Daud Latuconsina-Daniel.W.Nirahua, lalu dimulailah episode baru dimana masing-masing kepengurusan mengklaim dirinya sebagai yang paling sah.
Pangkal semuanya ini bersumber dari dualisme kepengurusan KNPI Pusat dijakarta hingga merembes kedaerah termasuk Maluku.
Saya tak mau lagi merunut mundur cerita jauh kebelakang mengenai sebab musababnya karena waktu berjalan terus, angkatan demi angkatan sudah bermunculan setiap waktu sementara beban sejarah terus diwariskan kepada angkatan baru ini tanpa pernah ada upaya untuk menyelesaikan segalanya demi mereka yang biasanya dipidatokan oleh para ketua KNPI MALUKU dengan begitu indahnya sebagai “Tongkat estafet pembangunan bangsa”.
Lagipula dualisme,tigalisme hingga empatlisme untuk organisasi kepemudaan itu tidak seindah karya sastra maupun seni,mau bukti coba lihat 4 bagian tetralogi buru karya Sastrawan Pramoedya ananta Toer yang mendunia serta kemunculannya berhasil menganggu kenyamanan rezim berkuasa atau laris manisnya The lord of the rings, Harry Potter bahkan James Bond hingga berkali-kali dibuat terus untuk ditonton.
Cerita tentang perpecahan kepemudaan sungguh tidak enak untuk dibaca bahkan ditonton karena pemuda dalam sejarahnya adalah elite penggerak perubahan zaman yang kekuatannya diibaratkan Sanggup memindahkan Gunung Semeru diBumi Mataram- wilayah kesultanan ngajogjakarta Hadiningrat oleh Bung Karno ,meskipun itu hanya berjumlah sepuluh orang, jauh lebih sedikit dari jumlah fungsionaris KNPI MALUKU yang biasanya ratusan orang.
Pada gedung bercorak biru itu, dua pilar utama penyanggah demokrasi bangsa bernaung diMaluku. Lantai 1 untuk PWI lantai 2 hingga 4 untuk KNPI, berpuluh-puluh tahun seperti itu, dan sudah menorehkan cerita hebatnya sendiri, jauh sebelum prahara “multiisme” kepengurusan membenamkannya dikeheningan dan gulita paling kelam dalam hikayatnya.
Sebenarnya, mau berapa banyaknya kepengurusan KNPI diMaluku mestinya semua berkantor disitu, kalian berlomba untuk mencetak kader pemuda terbaik kita, bukan sebaliknya mengambil posisi layaknya parlemen jalanan padahal kodradnya adalah wadah berhimpun.
Seharusnya, multiisme kepengurusan itu dalam satu dekade terakhir ini justru sudah harus mencetak lebih banyak lagi Tokoh-tokoh kaliber Maluku sekelas Zeth Sahuburua, M.G Lailossa, Richard Louhenapessy, Umar Tahir, Abdullah Tuasikal, Sam Latuconsina, hingga Ridwan Rahman Marassabessy.
Mereka lupa bahwa cerita-cerita besar kepemudaan Maluku yang sanggup mengakhiri “puasa panjang kekuasaan” itu justru dikonsepsikan dari hasil rapat pengurus serta diskusi di gedung KNPI yang kini kosong, sepi, gelap tak berpenghuni itu.
Konsep putera daerah jadi gubernur dan terjawab oleh kehadiran pak Akib Latuconsina waktu orde baru dulu diawali digedung itu, konsep putera daerah harus masuk kabinet jaman SBY jadi presiden RI juga diawali digedung itu hingga jadilah George Toisuta kepala staf angkatan Darat, Wakil menteri perdagangan prof Alex Retraubun.
Pemuda Maluku bergerak dalam konsepsi dan visi semestinya dari gedung itu, dari diskusi, dari rapat pengurusnya ,pleno-pleno pengurus harian perbulan bukan dari intuisi tiba saat tiba akal seperti sekarang ini.
Saya rindu lihat pengurus KNPI Maluku bisa hadir di gedung DPRD Maluku dengan kepala tegak untuk hearing disana menyangkut nasib dana inpres 6 (Dana pengungsi korban kerusuhan Maluku) seperti jaman Abang Sam Latuconsina dulu.
Rindu pada teriakan suporter dan keringat pemain di stadion Mandala Remaja karpan ambon dalam ajang Menpora Cup I & II yang diselenggarakan oleh KNPI Maluku seperti dulu.
Semua kisah-kisah heroik itu bermula digedung 4 lantai kebanggaan kita yang kini kosong tak berpenghuni dalam sepi menggulita.
Bila memang KNPI kini sudah kembali menjadi KNPI yang esa dalam 1 kepengurusan tunggal maka puji syukur pada Tuhan yang esa, bila belum pun tak mengapa yang penting KNPI Multi”isme” itu bisa bergandengan tangan untuk sama-sama fungsikan kembali gedung bersejarah kebanggaan pemuda Maluku.
Untuk PWI Maluku saya pikir mudah terselesaikan, sebab konflik wartawan separah apapun tak sampai bergenerasi seperti parahnya konflik kepemudaan, wartawan itu “baku marah” lalu nanti selesai secara alamiah dengan cara jurnalis ala Maluku, dan saya tahu persis konflik-konsensus PWI mudah dibangun diatas dasar sebuah kepemimpinan yang arif kebapaan, itu yang PWI Maluku tengah sibuk mencari figur ketuanya.
Semoga, bisa dibaca dengan jiwa merdeka agar rantai “segel”yang membelenggu dipintu utama gedung Pemuda Maluku bisa terlepas bebas untuk selamanya karena “fajar tengah menyingsing” Seperti di pidatokan oleh Presiden Soekarno dari mimbar PBB 30 September 1960 melalui To build the world a new (Membangun Dunia Baru).
Bila karya Pramoedya ananta Toer pernah dipentaskan dipanggung teater jakarta dengan judul bunga penutup abad, maka tulisan ini tak berbunga seratus tahun, ia menderai dari langit seperti hujan dan melarung jauh untuk jiwa yang kerontang. Anggaplah ini sebagai derai hujan penutup November.
Salam pemuda, Bangkitlah Pemuda Maluku untuk Indonesia Jaya.
Ambon, ambang senja penghabisan November Masehi.
Mantan Pengurus DPD KNPI Maluku (pada 2 versi Kepengurusan), bekas wartawan-pernah beraktivitas pada semua lantai di gedung biru bersejarah itu.
Penulis: Bung Hesky Lesnussa