JURNALMALUKU-Dalam wawancara di sela-sela pelantikan Pengurus Forum Komunikasi Nasional (FORKONAS) untuk Perjuangan Pemekaran Daerah, Ir. Melkias L. Frans, M.Si, Sekretaris Forum Komunikasi Daerah (FORKODA) Perjuangan Pemekaran Provinsi Maluku, menegaskan komitmennya untuk terus memperjuangkan lahirnya wilayah otonom baru di Maluku. Menurutnya, pemekaran merupakan langkah strategis untuk mempercepat pembangunan, memperpendek rentang kendali pemerintahan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, khususnya di daerah tertinggal, terluar, dan terisolasi.
Momentum pelantikan FORKONAS ini juga menjadi ajang berkumpulnya tokoh-tokoh nasional dari berbagai lembaga tinggi negara. Kehadiran mereka memberikan sinyal kuat bahwa wacana pencabutan moratorium pemekaran semakin mendapatkan tempat di lingkar kekuasaan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Dukungan ini dinilai penting untuk membuka kembali ruang dialog dan percepatan pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) sebagai bagian dari agenda pembangunan nasional.
Dalam pelantikan tersebut, kepengurusan FORKONAS diisi oleh sejumlah tokoh nasional yang selama ini aktif memperjuangkan dan memiliki komitmen terhadap pemerataan pembangunan nasional. FORKONAS dipimpin oleh Dr. H. Syaiful Huda, M.Si, mantan Ketua Komisi X DPR RI. Beberapa tokoh yang hadir antara lain: Dr. H. M. Rifqinizamy Karsayuda, S.H., M.H. (Ketua Komisi II DPR RI), Dr. dr. H. Andi Sofyan Hasdam, Sp.S.K (Ketua Komisi I DPD RI), Dr. Bob Hasan, S.H., M.H. (Ketua Badan Legislasi DPR RI), serta Tamsil Linrung (Wakil Ketua DPD RI). Turut hadir dari Maluku, Ketua Konsorsium Pemekaran Provinsi Maluku Tenggara Raya, Yosep Sektiebun, yang selama ini aktif memperjuangkan aspirasi rakyat Tenggara Maluku di tingkat nasional.

Ketua FORKONAS PP DOB dalam sambutannya menegaskan bahwa pemerintah pusat harus segera membuka moratorium pemekaran wilayah. Ia mempertanyakan logika di balik kebijakan penutupan, yang terlalu fokus pada hasil evaluasi beberapa DOB terdahulu yang dinilai berkinerja rendah. “Hasil evaluasi DOB yang mayoritas berkinerja rendah jangan dijadikan alasan untuk menghalangi objektivitas pemekaran wilayah yang memang sudah layak secara administrasi, geografis, dan sosial,” ujarnya.

Selain itu, orasi kebangsaan dibawakan oleh Dr. Drs. Bahtiar, M.Si, Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, yang menekankan pentingnya pendekatan yang terukur dan konstitusional dalam perjuangan pemekaran daerah.
“Pemekaran wilayah bukan hanya sekadar pembagian administratif,” tegas Frans. “Ini adalah cara kita membuka akses seluas-luasnya bagi masyarakat terhadap layanan publik, pendidikan, kesehatan, serta peluang ekonomi yang selama ini sulit dijangkau oleh warga di daerah terpencil. Melalui pemekaran, negara dapat lebih hadir secara nyata di wilayah-wilayah yang selama ini terpinggirkan.”
Karena itu, lanjut Frans, FORKONAS secara aktif mendorong sejumlah wilayah di Maluku yang dinilai layak dan strategis untuk ditetapkan sebagai Calon Daerah Otonomi Baru (CDOB). Wilayah-wilayah tersebut antara lain: Provinsi Maluku Tenggara Raya (MTR), Kabupaten Kepulauan Terselatan (KKT), Kabupaten Tanimbar Utara, Kabupaten Aru Perbatasan, Kabupaten Buru Kayeli, Kabupaten Babar-Damer, Kabupaten Gorom-Watake, Kabupaten Jasirah Lehitu, Kabupaten Kei Besar, Kabupaten Seram Selatan, Kabupaten Seram Utara, dan Kabupaten Talabatai.
Menurutnya, masing-masing daerah tersebut memiliki potensi besar, baik dari sisi sumber daya alam, letak geografis strategis, maupun modal sosial dan budaya. “Potensi ini harus dikelola dengan sistem pemerintahan yang lebih dekat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Itu sebabnya, pemekaran menjadi sangat penting,” jelasnya.

Frans menekankan bahwa pemekaran bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Karena itu, FORKODA mendorong agar seluruh proses dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab.
“Pemekaran harus menjawab kebutuhan rakyat. Jangan hanya menjadi formalitas administratif tanpa dampak nyata di lapangan. Karena itu, kesiapan infrastruktur, sumber daya manusia, dan dukungan fiskal menjadi kunci keberhasilan,” ujarnya. “Pemekaran wilayah baru bukan satu-satunya cara untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial, tapi percayalah bahwa pemekaran adalah jalan yang sangat mungkin untuk mencapainya.”
FORKODA, lanjut Frans, mengedepankan pendekatan konstitusional dan partisipatif. Setiap usulan pemekaran dirancang berdasarkan kajian akademik, dialog publik, serta koordinasi intensif dengan pemerintah pusat dan daerah, agar prosesnya tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga kuat secara sosial dan politis.
Ia juga menilai bahwa pemekaran merupakan solusi konkret terhadap ketimpangan pembangunan yang masih dirasakan oleh banyak wilayah di Maluku. Wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pemerintahan provinsi sering kali tertinggal dalam hal pelayanan dasar dan pembangunan infrastruktur.
“Bayangkan warga di wilayah perbatasan harus menempuh ratusan kilometer hanya untuk mengakses layanan kesehatan tingkat provinsi atau sekadar mengurus dokumen kependudukan. Ini bukan hanya soal jarak, tetapi soal keadilan,” tegasnya.
Terkait usulan Provinsi Maluku Tenggara Raya, Frans menyatakan bahwa wilayah ini telah memenuhi sejumlah persyaratan penting, baik dari sisi administrasi, geografi, potensi ekonomi, maupun aspek sosial budaya. Ia menyebut bahwa dukungan dari masyarakat akar rumput hingga tokoh daerah menjadi fondasi kuat bagi terwujudnya provinsi baru ini.
Frans juga menyoroti bahwa keberhasilan pemekaran memerlukan komitmen yang kuat dari berbagai pihak. Pemerintah pusat, pemerintah daerah, DPR, serta elemen masyarakat sipil perlu duduk bersama dan melihat pemekaran sebagai bagian dari strategi nasional untuk memperkuat Indonesia dari pinggiran.
Ia menambahkan bahwa FORKODA terus membuka ruang komunikasi dan kerja sama dengan berbagai tokoh strategis di daerah dan pusat. “Pemekaran adalah perjuangan kolektif. Ini bukan agenda kelompok, tapi kepentingan bersama masyarakat Maluku dan Indonesia secara umum,” jelasnya.
Dalam hal strategi perjuangan, Frans menyatakan pentingnya pendekatan yang sistematis dan berbasis data. “Kita tidak bisa hanya mengandalkan retorika. Harus ada dokumen, kajian, dan argumentasi kuat. Ini yang kami bangun dalam kerja-kerja FORKODA,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa perjuangan pemekaran bukan bentuk penolakan terhadap provinsi induk, melainkan dorongan untuk mempercepat pembangunan dan menghadirkan negara secara nyata di wilayah-wilayah terluar. “Semakin banyak pusat pertumbuhan di timur Indonesia, semakin kuat pula daya saing nasional kita sebagai negara kepulauan,” pungkasnya.
Dalam penutupnya, Frans mengajak seluruh masyarakat Maluku – baik yang tinggal di daratan, kepulauan, maupun diaspora – untuk bersatu mendukung perjuangan ini. “Mari kita perjuangkan masa depan daerah kita dengan cara yang bermartabat, sah secara hukum, dan bermanfaat bagi generasi mendatang,” serunya.
Dengan kerja bersama yang konsisten dan komitmen yang kuat, pemekaran wilayah di Maluku bukan lagi sekadar wacana. Sebuah babak baru pembangunan daerah sedang dirintis, dan FORKODA, bersama rakyat, siap menjadi pelopornya. (JM-Red)